Fathulmuin19’s Blog

Just another WordPress.com weblog

HUKUM DAN KEADILAN

Keadilan dalam hukum seakan tidak pernah bisa dipisahkan dan bahkan bisa dikatan keberadaan persandingan keadilan dalam hukum dimutlak keberadaany. karena keberadaan keadilan dianggap selalu menjadi penentu putusan hukum. Pertanyaan kemudian bagaimana ketika keadilan tidak pernah dirumuskan secara jelas dalam hukum, disisi yang lain apabila tuntutan keadilan dirumuskan yang ada justru kecenderungan pemaknaan yang bersifat subyektif. dengan kondisi yang seperti ini tentunta sangat memprihatinkan, dimana kedilan hukum selalu menjadi tumpuan masyrakat dalam menyelesaikan persoalan mereka dalam pengadilan. untuk mengatasi ini setidaknya ada tiga cara yang bisa digunakan untuk melihat keadilan dalam hukum. ketiga cara tersebut antara lain:
1. Keadilan digunakan sebagai pisau analisa terhadap hukum positif
2. keadilan dipandang dari proses penjatuhan sanksi
3 keadilan dilihat dari prosese pembuatan hukum

April 7, 2009 Posted by | Uncategorized | Leave a comment

ANALISA YURIDIS PERANAN KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP TINDAK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Komitmen anti-kekerasan merupakan tujuan luhur manusia. Maka barang siapa yang ingin ada pertumpahan darah, pembantaian wanita, dan anak-anak yang tak berdosa hidup dalam ancaman berarti bertentangan dengan tujuan luhur manusi tersebut. Tujuan luhur manusia itu sejajar dengan ajaran semua agama, yang mana agama juga memiliki tujuan yang sama: kedamaian dan anti-kekerasan. Semua agama yang ada di muka bumi ini mengajarkan kebaikan dan kedamaian hidup manusia. Buddha mengajarkan kesederhanaan, Kristen mengajarkan cinta kasih, Konfusianisme mengajarkan kebijaksanaan, dan Islam mengajarkan kasih sayang bagi seluruh alam . Komitmen tersebut diaplikasikan dalam bentuk yang bermacam-macam, bias melalui tangan Negara, melalui media dengan melakukan kampanye anti kekerasan dan melelui institusi-institusi baik formal maupun non-formal.
Sebagai sebuah Negara yang memiliki komitmen terhadap anti-kekerasan, Indonesia dalam menjamin masyarakanya supaya mendapat perlindungan dari tindak kekerasan apapun, jaminan tersebut secara langsung diatur dalam pembukaan UUD 1945 bahkan menjadi tujuan bernegara,…… penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan………dan…..Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Dari sini harapanya masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang cinta damai dalam menjalankan kehidupanya. Namun apakah tujuan tersebut telah menjadi kenyataan?.
Mencermati tingginya praktek kekerasan yang terjadi di Indonesia khususnya menyangkut kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga kelihatanya perlu menunda dulu apabila kita Ingin mengatakan bahwa Negara kita sudah menjadi Negara yang terbebas dari praktek-praktek kekerasan. Menurut catatan Komisi Nasional Perempuan, kekerasan terhadap istri selama tahun 2007 tercatat 17.772 kasus, sedangkan tahun 2006 hanya 1.348 kasus . Bahkan Laporan Komnas Perempuan menunjukkan data kasus yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Sebesar 3160 kasus di tahun 2002 naik menjadi 5.163 kasus di tahun 2003, lalu naik menjadi 7.787 kasus di tahun 2004, terakhir terdapat 14.020 kasus ditahun 2005. Dari 14.020 kasus tersebut sebesar 4.310 kasus (31%) merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga .Data yang diperoleh dari Rifka Anissa Women’s Crisis Centre menunjukkan tahun 1994 s/d tahun 2003 kasus KDRT berjumlah 1511 kasus. Tiap tahun selalu mengalami peningkatan, mulai 18 kasus (1994), 82 kasus (1995), 134 kasus (1996), 188 kasus (1997), 208 kasus (1998) dan terakhir 282 kasus (1999). Dari 706 kasus, pengaduan terbanyak merupakan korban kekerasam suami (70%), bahkan ada korban yang sampai buta. Namun ironisnya dari keseluruhan jumplah kasusu yang ada kurang dari 2% yang bersedia membawa kasusnya baik ke pengadilan maupun melapor ke polisi. Sebagai contoh dapat dilihat dari kasus KDRT yang terjadi di Kabupaten Bandung. Dari 73 kasus KDRT yang terjadi, 55 kasus berupa kekerasan fisik dan sisanya kekerasan psikis. Ini terjadi selama Desember 2006 sampai dengan Mei 2007; di 5 Kecamatan, yaitu Kecamatan Pacet, Solokanjeruk, Pangalengan, Paseh dan Baleendah. Dari 73 kasus KDRT tersebut baru tiga kasus yang dilaporkan ke pihak berwajib, dan satu kasus telah menyeret pelakunya ke penjara . Selain daerah tersebut, terjadinya praktek kekerasan terhadap perempuan juga terjadi dieberapa di beberapa daerah lain seperti Jombang, Semarang, Medan, Makassar, Jakarta, dan bahkan Yogyakarta juga menjadi basisi terjadinya praktek kekerasan yang berbasisi rumah tangga tersebut.
Kondisisi yang mengalami kenaika yang luar biasa ini menurut Mei Shofia Romas, Manajer Divisi Pendampingan Rifka Annisa, disebabkan oleh berhasilnya sosialisasi Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Sosialisasi telah menyadarkan perempuan korban kekerasan untuk melapor karena ada payung hukum yang melindunginya. Selain itu, masyarakat pun menjadi semakin peduli jika menemukan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.
Mencermati kondisi yang terjadi diatas kemudian muncul pertanyaan, apakah banyaknya kasusu juga diiringi dengan penanganan yang memadahi. Dari sejumpah kasus yang terjadi ternyata upaya penanganan kekerasan dalam rumah tangga banyak mendapatkan berbagai macam kendala, menurut Jaksa Agung, Hendarman Supanji, Meski penanganan tindak pidana kekerasan terhadap perempuan dan anak telah dipayungi hukum, namun pelaksanaannya belum memberikan perlindungan yang optimal, sejumlah kendala yang umumnya dihadapi adalah Pertama, kuatnya kultur budaya gender dan patriarki. Kedua, relasi dan kuasa yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan. Ketiga, perilaku hasil meniru. Keempat, kurangnya kesadaran dan pemahaman korban untuk melapor ke aparat . Selain itu, menurut penulis aspek penegakan hukum dan minimnya lembaga yang menangani menjadi persoaln lain. Hal yang sama diungkapkan oleh Seto Mulyadi, sambil mengajak seluruh orang tua untuk tidak lagi melakukan kekerasan terhadap anak, Seto Mulyadi yang akarab dipanggil kak Seto tersebut meminta sejumlah lembaga Negara seperti Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Departemen Sosial, Departemen Kesehatan, dan Pendidikan, ikut terlibat dalam menanagani masalah tersebut .
Dari latar belakang diatas maka manjadi penting sebuah solusi dalam menangani berbagai macam kasus tang terjadi menyangkut kekerasan dalam rumah tangga. Apalagi rumaha tangga pada dasarnya merupakan sebuah upaya berbuat baik bagi sesame manusia.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang tindak kekerasan dalam rumaha tangga
2. Bagaimana upaya yang dilakukan pemerinta, khususnya Komnas Perempuan, untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
3. Mengetahui apa saja latar belakang tindak kekerasan dalam rumaha tangga
4. Mengetahui bagaiman upaya yang dilakukan pemerintah, khususnya Komnas Perempuan, untuk menyelesaikan persoalan tersebut.

BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA, FAKTOR PENYEBAB , DAN UPAYA-UPAYA PENYELESAIANNYA.
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dalam rumah tangga tidak bisa dilepaskan dari Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women, disingkat CEDAW di Wiena, Convention on the Elimination of All Forms Discrimination Against Woman yang telah disetujui Majelis Umum PBB dalam sidangnya tertanggal 18 Desember 1979, Declaration of Violence Against Woman (1993), and Bejing Declaration and Platform for Action (1995) yang telah disetujui Majelis Umum PBB dalam sidangnya tertanggal 18 Desember 1979.
Menindak lanjuti adanya kemudian pemerintah beberapa konvensi di atas, Indonesia telah menandatangani Konvensi CEDAW tersebut pada tanggal 29 Juli 1980 sewaktu diadakan Konferensi Sedunia Dasaa Warsa Perserikatan Bangsa – Bangsa bagi wanita di Kopenhagen. Hal ini diikuti dengan pengesahan atau ratifikasi CEDAW dalam bentuk beberapa undang-undang, diantaranya UU No 1 tahun 1974, Undang-Undang No. 7 tahun 1984, UU No 39 1999, dan UU No 23 tahun 2004.
CEDAW muncul dilatarbelakngi oleh Tindak kekerasan terhadap perempuan yang mewujud ke dalam berbagai bentuk dalam keseharian hidup perempuan di seluruh dunia, di semua strata sosial, dan di berbagai macam budaya terutama yang berwatak patriarki. Perempuan disakiti, dipukuli, dieksploitasi, bahkan sampai dipotong, dibunuh, dimutilasi, juga didera, dilukai hatinya, dibiarkan menderita secara psikologik. Motivasi yang mendorong laki – laki melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan dilandasi pemikiran yang keliru bahwa sebagai suami adalah wajar apabila ia memukuli istrinya. Dia percaya bahwa tindakan itu adalah “untuk mendidik” istrinya. Padahal setelah ditelusuri tindakan tersebut adalah akibat ketimpangan relasi sosial, dimana si suami ingin menyatakan bahwa “kekuasaan ada pada dirinya”.
A. KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
A.1. Pengertian
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan padanan istilah yang sederhana namun artinta tidak sesederhana katanya. Kesulitan ini dimaklumi karena kekerasan dan rumah tangga merupakan dua istilah yang meimiliki definisi tersenderi, selain itu banyaknya pendekatan yang digunakan dalam menlakukan pemaknaan terhadap kekerasan dalam rumah tangga merupakan persoalan lain yang menyebabkan padanan kata ini menjadi sulit untuk didefinisikan secara komprehenship. Menuurut Carwoto kekerasan terhadap perempuan adalah kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau juga dikenal dengan kekerasan dalam rumah tangga . Kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri disebut juga kekerasan domestik (domestic violence). Kekerasan domestik atau kekerasan dalam rumah tangga juga disebut kekerasan keluarga. Sebenarnya kedua istilah tersebut mengandung arti yang tidak sama. Pengertian keluarga adalah adanya hubungan darah antara orang-orang dalam dalam rumah tangga sedangkan dalam pengertian rumah tangga adalah di dalam rumah tangga yang bersangkutan di samping antara anggota rumah tangga adanya hubungan darah ada juga orang lain di rumah tangga itu karena hubungan ekonomi. Oleh karena demikian rumah tangga mengandung lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan lingkup keluarga.
Luasnya ruang lingkup rumah tangga dibandingkan keluarga tersebut ditegaskan pula oleh Kemala Candrakirana, Kemala mengatakan bahwa ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga di bagi menjadi kekerasan fisik, seksual, psikologis dan penelantaran, termasuk ancaman yang menghasilkan kesengsaraan dan penderitaan dalam lingkup rumah tangga . Pembagian yang dilakukan kemala ini diperkuat dengan UU No 23 tahun 2004 yang mendefinisikan kekerasan
adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
A.2. Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga
Dari beberapa definisi diatas dan menurut UU No 23 tahun 2004 kekerasan dalam rumah tangga dapat dibagi menjadi empat, yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan kekerasan penelantaran rumah tangga.
1. Kekerasan rumah yang berbentuk kekersan fisik, kekrasan ini memiliki arti perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat, seperti : memukul, menampar, mencekik dan sebagainya.
2. Kekerasan rumah tangga yang berbentuk kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/ata penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan ini mencakup penyiksaan secara emosional dan verbal terhadap korban, sehingga melukai kesehatan mental dan konsep diri perempuan. Kekerasan ini dapat berupa hinaan kepada istri, celaan, makian, ancaman akan melukai atau membunuh istri dan anak-anak, melarang istri mengunjungi keluarga atau teman, rasa cemburu atau rasa memiliki yang berlebihan, merusak barang-barang milik pribadi, mengancam untuk bunuh diri, melakukan pengawasan dan manipulasi, mengisolasi perempuan dari kebutuhan dasarnya (nafkah lahir dan batin) dan menanamkan rasa takut sedemikian rupa terhadap istri.
3. Kekerasan rumah tangga yang berbentuk kekerasan seksual, Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud meliputi: a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu, sebagai contoh melakukan tindakan yang mengarah keajakan/desakan seksual seperti menyentuh, mencium, memaksa berhubungan seks tanpa persetujuan korban dan lain sebagainya.
4. Kekerasan rumah tangga yang berbentuk kekerasan finansial, Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup ruma tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karen persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Pengertian tersebut juga berlaku bagi setia orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan car membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau diluar rumah sehingga korban.
Berkaitan dengan bentuk-bentuk kekerasan terhadap rumah tangga, hasil penelitian yang kami lakukan di Yogyakarta menunjukkan, bahwa bentuk-bentuk kekerasan Kekerasan tersebut dibagi menjadi:
B. Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi tanpa membedakan latar belakang ekonomi, pendidikan, pekerjaan, etnis, usia, lama perkawinan, atau bentuk fisik korban . Kekerasan adalah sebuah fenomena lintas sektoral dan tidak berdiri sendiri atau terjadi begitu saja. Secara prinsif ada akibat tentu ada penyebabnya. Sehingga banyak sekali latar belakang mengapa tindak kekerasan dalam rumah tangga sering terjadi. Berkaitan dengan hal tersebut Aina Rumiati Azis mengemukakan faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga yaitu :
1. Budaya patriarki yang masih berkembang luas
Di sini laki-laki dalam posisi dominan atau superior dibandingkan dengan perempuan. Anggapan isteri milik suami dan seorang suami memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dari pada anggota keluarga yang lain, menjadikan laki-laki berpeluang melakukan kekerasan. Kekerasan yang dilakukan dalam rumah tangga akan berpengaruh pada anak karena sifat anak yang suka meniru segala sesuatu yang dilakukan orang terdekatnya, dalam hal ini ayah dan ibunya. Anak akan menganggap wajar kekerasan yang dilakukan ayahnya, sehingga anak laki-laki yang tumbuh dalam lingkungan seperti itu cenderung akan meniru pola yang sama ketika ia bersiteri kelak.
Latar budaya patriarki dan ideologi gender berpengaruh pula terhadap produk perundang-undangan. Misalnya pasal 31 ayat (3) UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa : “Suami adalah kepala keluarga & istri ibu rumah tangga.” Hal ini menimbulkan pandangan dalam masyarakat seolah-olah kekuasaan laki-laki sebagai suami sangat besar sehingga dapat memaksakan semua kehendaknya termasuk melakukan kekerasan. Ada kecenderungan dari masyarakat yang selalu menyalahkan korbannya, hal ini karena dipengaruhi oleh nilai masyarakat yang selalu ingin harmonis. “Walaupun kejadiannya dilaporkan usaha untuk melindungi korban dan menghukum pelakunya, sering mengalami kegagalan karena KDRT khususnya terhadap perempuan tak pernah dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia
2. Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama khususnya Islam
Dalam kehidupan sosial-keagamaan dimana pendidikan keagaamaan islam didapat baik disekolah maupun dimajelismajelis taklim, pemahaman terhadap ajaran keagamaan islam akan sangat ditentukan dalam lingkup lembaga seperti itu, apakah pemahaman tersebut mengarahkan kita terhadap penghormatan dan perlindungan terhadap wanita atau justru pemahaman tersebut mengarahkan kita pada suatu pemahaman yang menempatkan wanita menjadi fihat yang tersub-ordinasi dari laki-laki.
Apabila terjadi pemehaman yang salah terhadap islam maka kecenderungan yang terjadi adalah learning shut down (pembisuan kecenderungan belajar) karena dipasung konsep-konsep dogmatis seperti takdir, nasib, pasrah, pahala dan surga akibat didominasi oleh teologi formal-tradisional. Dalam kondisi yang seperti itu teologi hanya dipandang sebagai simbul identitas kelompok keagamaan tradisional tertentu daripada sumber pemahaman yang konstruktif terhadap nilai keagamaan itu sendiri . Misalnya kelompok Ahlusunah Wal Jamaah (suni) yang mengklaim diri sebagai pengikit Asy’ariyah yang ikut mengkonstruksi teologi Asy’ariyah itu.
Pandangan Asy’ariyah mentakan bahwa manusia tidak memiliki kehendak bebas. Tuhan yang menciptkan semua tindakan manusia sedangkan manusia hanya memperolehdari apa yang disebut kasb . Namun bagi Hasan Hanafi teori kasb Asy’ariyah bahwa tuhan bersikap dan manusia menentukan, Tuhan menciptakan dalam diri manuasia kapasitas untuk berbuat yang dibutuhkan manusia untuk merealisasikan tindakan-tindakanya adalah lebih dekat dengan determinisme. Sehingga bagi Asy’ariyah, tanpa campur tangan Tuhan manusia tidak pernah bisa melakukan suatu tindakan . Sehingga dengan pandangan Asy’ariyah yang seperti itu menjadikan sifat Tuhan Yang Maha kuasa dan berkehendak apa saja sebagai sifat yang utama diatas sifat-sifat lainya, seperti maha adil, maha pengasih, dan maha penyayang. Kata “kuasa” dan “kehendak” kata menjadi kunci teologi Asy’ariyah. Tesis utama teologi ini adalah Tuhan Yang Maha kuasa berkehendak apa saja, dan apapun yang terjadi di dunia adalah hasil kehendak Tuhan. Dengan motifasi utama ingin menjunjung tinggi kemaha kuasaan Tuhan mutlak dan keinginan obsolut Tuhan .
Tampaknya “kuasa” oleh teologi Asy’ariyah dipahami sebagai fakta yang diterima begitu saja, sebagai kata benda yang berkonotasi kepemilikan. Nilai-nilai lain yang menyertai kekuasaan Tuhan seperti keadilan, kebijaksanaan, kasih sayang kurang begitu ditonjolkan. Kuasa lebih difahami sebagai thing (sesuatu) dari pada nilai yang memancar terhadap segala sesuatu. Oleh karena itu untuk menegakkan kekuasaan Tuhan, dengan serta merta menafikan kebebasan kehendak manusia. Kesadaran berislam yang seperti ini akhirnya kan mengkonstruk manusia menjadi manusia yang pasrah total (jabariah), sehingga menganggap segala sesuatu berkenaan dengan kehidupan manusia termasuk tentang umur, rezeki, dan pekerjaan telah ditetapkan oleh Allah sejak zaman azali. Pola pemahaman teologi yang seperti ini menurut Syahrur sebagai tirani teologi (al-istibdad) , yaitu teologi yang telah membelenggu kebebasan manusia secara otoriter, kurang memberi ruang kebebasan kreatif bagi manusia untuk berkarya karena terlalu mengedepankan hegemoni kekuasaan Tuhan yang tidak proporsional dan adanya intervensi penetapan-penetapan-Nya sejak azali .
Kecenderungan teologi Asy’ariyah yang bersifat Jabariah dan tiranik telah melahirkan klaim sepihak yang menyebut teologi ini sebagai yang bertanggung jawab atas kemunduran dan keterbelakangan, mengingat teologi ini dianut sebagian besar masayarakat di negri ini. Maka, menjadi wajar kalau beberapa kasusu tragedi kemanusiaan termasuk kekerasan dalam rumah tangga, seperti terurai dibagian awal, menjadi marak terjadi dimana-mana. Apalagi kondisi ini dipertegas dengan dominanya Islam ortodok dikalangan suni, termasuk di Indonesia yang menjadikan oriental eksternal obsolut (absolute extrinsic authority) sebagai ajaran dan petunjuk bagi kebenaran atau kemurnian iman. Dengan kata lain mereka yang berpegang secara ketat pada al-Quaran dan Hadist sebagai sumber doktrin praktek keagamaanya, sehingga kurang menekankan-untuk tidak mengatakan menafikan-unsur-unsur rasionalitas .
Selain kedua hal yang disampaikan Aina Rumiati Azis mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan, Ni Nyoman Sukerti menambahkan, bahwa perspektif gender juga sangat berpengaruh dan menjadi pemicu terjadinya kekrasan terhadap perempaun dalam rumah tangga.
3. Kekerasan Terhadap Perempuan Dari Perspektif Gender.
Faham gender memunculkan perbedaan laki-laki dan perempuan, yang sementara diyakini sebagai kodrat Tuhan. Sebagai kodrat Tuhan akibatnya tidak dapat dirubah. Oleh karena gender bagaimana seharusnya perempuan dan laki-laki berfikir dan berperilaku dalam masyarakat. Perbedaan perempuan dan laki-laki akibat gender ternyata melahirkan ketidak adilan dalam bentuk sub-ordinasi, dominasi, diskriminasi, marginalisasi, stereotype. Bentuk ketidak adilan tersebut merupakan sumber utama terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Hal tersebut di atas terjadi karena adanya keyakinan bahwa kodrat perempuan itu halus dan posisinya di bawah laki-laki, bersifat melayani dan tidak sebagai kepala rumah tangga. Dengan demikian maka perempuan disamakan dengan barang (properti) milik laki-laki sehingga dapat diperlakukan sewenang-wenang. Pola hubungan demikian membentuk sistem patriarki. Sistem ini hidup mulai dari tingkat kehidupan masyarakat kelas bawah, kelas menengah dan bahkan sampai pada tingkat kelas tinggi. Mulai dari individu, keluarga, masyarakat dan negara. Negara mempunyai kepentingan untuk mengatur posisi perempuan dengan mencantumkan pasal poligami dalam U U No. 1 Tahun 1974 .
Selain ketiga hal diatas Fathul Djannah mengemukakan beberapa faktornya lain mengapa terjadi kekerasan dalam rumah tangga, yaitu : kurangnya kemandirian ekonomi istri, Karena pekerjaan istri, Perselingkuhan suami, Campur tangan pihak ketiga, Pemahaman yang salah terhadap ajaran agama, dan Karena kebiasaan suami yang buruk .
Kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga dapat uga dikaji berdasarkan Teori Class dari Marx. Marx mengatakan bahwa ada dua kelompok yang berada pada posisi yang berbeda yaitu kelompok kapitalis di satu sisi dan kaum buruh di sisi lainnya. Kaum kapitalis adalah kaum yang menekan kaum buruh, kaum buruh berada pada posisi sub-ordinat dan tidak diuntungkan . Berdasarkan Teori Marx tersebut dapat diasumsikan bahwa kaum laki-laki itu adalah kaum kapitalis yang berada pada posisi lebih tinggi, menentukan dan diuntungkan sedangkan kaum perempuan adalah kaum buruh yang berada pada posisi lebih rendah dan tidak diuntungkan. Dengan pola hubungan yang demikian menandakan adanya penguasaan dari kelompok yang satu terhadap kelompok lainnya. Di mana kelompok yang berkuasa yakni kelompok laki-laki dapat melakukan kekerasan terhadap kelompok perempuan. Dalam kaitan ini laki-laki (suami) melakukan kekerasan terhadap perempuan (istri) dalam rumah tangga.
Selain teori Class dari Marx, Teori Feminis Radikal dari Herbert Marcase dan Wilhelm Reich juga relevan untuk mengkaji kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga. Teori Feminis Radikal berpandangan bahwa adanya pemisahan ranah publik dan ranah privat yang menyebabkan perempuan mengalami ketertindasan. Pengertian ranah publik mengandung arti yang lebih tinggi tingkatannya dari ranah privat dan ini merupakan awal sistem patriarki yang menyebabkan perempuan berada pada posisi tertindas .
Kedua teori tersebut di atas sangat relevan untuk menggambarkan kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga. Kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga selama ini masih dipandang sebagai urusan suami istri yang bersangkutan dan bukan merupakan urusan publik atau sosial.
C. Upaya-Upaya Resolusi Konflik
Dalam melakukan langkah-langkah penyelesaian pemerintah melakukan beberapa upaya sehingga persolan KDRT terselesaikan, upaya-upaya tersebut bisa ditempuh melalui dua caradengan jalur litigasi (menggunakan jalur hukum) dan jalur non-litigasi (musyawarah dan mufakat keluarga namun tetap melibatkan pihak ketiga sebagai mediatornya). Upaya Non-litigasi biasanya menjadi jalan upaya awal yang ditawarkan untuk menyelesaikan perselisihan. Dengan dilakukan musyawarah, diharapkan persoalan bisa diselesaikan dengan baikdan tentunya bisa terus mempertahankan tali silaturrahmi keluarga. Hanya saja menurut Maina, penyelesaian persoalan melalui musyawarah mempunyai kelemahan yaitu tidak adanya jaminan tertulis bahwa korban tindak kekerasan tidak akan mengalami hal yang sama di kemudian hari. Kendati demikian, cara ini selalu dikedepankan sebagai mediasi penyelesaian konflik dan perselisihan keluarga. Sementara itu, upaya litigasi adalah upaya akhir jika perselisihan dan konflik tidak bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Pelibatan aparat penegak hukum akan memberi pemahaman hukum lebih luas kepada korban dan pelaku tindak kekerasan .

BAB III
KOMNAS PEREMPIAN SEBAGAI LEMBAGA PERLINDUNGAN
TINDAK KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
A. Sejarah Pembentukan
A.1 Latar Belakang
Sebagai negara yang ikut meratifikasi konvensi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), dengan membentuk beberapa undan-undang antara lain UU No 1 tahun 1974, Undang-Undang No. 7 tahun 1984, UU No 39 1999, dan UU No 23 tahun 2004. Beberapa undang-undang ini diharapkan akan memberikan perlindungan terhadap perempuan lebih serius khususnya terhadap tindak kekerasan dalam rumah tangga. Namun keefektifan Undang-Undang tersebut tanpa didukung oleh beberapa infrastruktur organisasi baik formal maupun non- formal, penulis kira kefektifan dan keberhasilan atas keberadaan UU tersebut dipertanyakan.
Untuk itu maka pada 1998 dilatar belakangi oleh peristiwa kerusuhan dan kekerasan seksual terhadap kelompok-kelompok cina, kelompok-kelompok maupun organisasi-organisasi sosial dalam masyarakat telah membuat berbagai pernyataan yang meminta Pemerintah untuk mengutuk kerusuhan termasuk terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Presiden sebagai Kepala Negara menyetujui dibentuknya suatu Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan pada 1998 telah dikukuhkan dengan suatu Surat Keputusan Presiden No. 181 tahun 1998 . Kemudian keputusan presiden ini diperbaharui dengan peraturan presiden No 65 tahun 2005 TENTANG KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN. Komnas Perempuan lahir dari tuntutan masyarakat sipil, terutama kaum perempuan, kepada pemerintah untuk mewujudkan tanggung jawab negara dalam menangapi dan menangani persoalan kekerasan terhadap perempuan. Tuntutan tersebut berakar dari tragedi kekerasan seksual yang dialami terutama perempuan etnis Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998 di berbagai kota besar di Indonesia.
Pada pertengahan bulan Mei 1998, terjadi kerusuhan di Jakarta dan beberapa kota lain. Di tengah penjarahan, pembakaran serta pembunuhan, perempuan etnik Tionghoa dijadikan sasaran perkosaan dalam penyerangan massal pada komunitas Tionghoa secara umum.
Tim Relawan Untuk Kemanusiaan, sebuah organisasi masyarakat yang memberi bantuan pada korban kerusuhan, mencatat adanya 152 perempuan yang menjadi korban perkosaan, 20 diantaranya kemudian dibunuh. Tim Gabungan Pencari Fakta, yang didirikan pada tahun yang sama oleh pemerintahan Habibie untuk melakukan investigasi terhadap kerusuhan ini, menghasilkan verifikasi terhadap 76 kasus perkosaan dan 14 kasus pelecehan seksual.
Atas tuntutan para pejuang hak perempuan akan pertanggungjawaban negara atas kejadian ini, tercapai kesepakatan dengan Presiden RI untuk mendirikan sebuah komisi independen di tingkat nasional yang bertugas menciptakan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan HAM perempuan di Indonesia.
Komnas Perempuan memaknai ‘Kekerasan terhadap Perempuan’ sesuai dengan definisi pada deklarasi yang dikeluarkan pada Konperensi HAM di Wina pada tahun 1993 dan sudah merupakan hasil sebuah konsensus internasional. Definisi ini mencakup kekerasan yang dialami perempuan di dalam keluarga, dalam komunitas maupun kekerasan negara. Pada konferensi internasional ini juga ditegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran HAM, dan bahwa pemenuhan hak-hak perempuan adalah pemenuhan hak-hak asasi manusia.
Fokus perhatian Komnas Perempuan pada saat ini adalah perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga; perempuan pekerja rumah tangga yang bekerja di dalam negeri maupun di luar negeri sebagai buruh migran; perempuan korban kekerasan seksual yang menjalankan proses peradilan; perempuan yang hidup di daerah konflik bersenjata; dan, perempuan kepala keluarga yang hidup di tengah kemiskinan di daerah pedesaan.
Pada saat ini, Komnas Perempuan mempunyai 17 komisioner yang berasal dari latar belakang yang beragam, baik dari segi agama dan suku, umur dan jenis kelamin, maupun dari segi disiplin ilmu dan profesi. Mereka dipilih melalui proses nominasi oleh para komisioner periode terdahulu yang kemudian diseleksi berdasarkan kriteria yang telah disepakati bersama atas fasilitas dari sebuah tim independen .
A.2 Pembentukan Komnas Perempuan
Ide pembentukan komnas Perempua yang salah satu tugasnya antara lain menyebarluaskan pemahaman atas segala bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia dan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan serta penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan telah disuarakan oleh kelompok-kelompok maupun organisasi-organisasi sosial independen dalam masyarakat yang prihatin dengan para nasib perempuan yang semakin hari terpinggirkan. Tuntutan tersebut berakar dari tragedi kekerasan seksual yang dialami terutama perempuan etnis Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998 di berbagai kota besar di Indonesia.
kelompok-kelompok maupun organisasi-organisasi sosial dalam masyarakat dalam melakukan tutntutab tersebut telah membuat berbagai pernyataan yang meminta Pemerintah untuk mengutuk kerusuhan termasuk terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Presiden sebagai Kepala Negara menyetujui dibentuknya suatu Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan pada 1998 telah dikukuhkan dengan suatu Surat Keputusan Presiden No. 181 tahun 1998 . Kemudian keputusan presiden ini diperbaharui dengan peraturan presiden No 65 tahun 2005.
B. Kedudukan, Tujuan, Asas, dan Tugas.
Setelah dijelaskan bahwa Komnas Perempuan telah diatur dalam peraturan presiden No 65 tahun 2005 Tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Dalam peraturan tersebut diatur beberapa hal mengenai hal-hal yang terkait dengan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, beberapa hal tersebut antara lain:
B.1 Kedudukan
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan merupakan salah satu komisis yang berfungsi untuk menangani berbagi persoalan khususnya terkait dengan pelanggaran terhadap perempuan. Komi yang sekarang lebih konsen pada persoalan KDRT ini ternyata dalam Peraturan Presiden tersebut tidak disebutkan secara ekplisist menegenai kedudukannya. Hanya saja kita bisa menjumpai Komnas Perempuan ini di JL. LATUHARHARI 4B JAKARTA 10310 INDONESIA.
Melihat kondisi ini menjadi bertanya-tanya apakah efektif suatu badan yang berwenang menangani kasus-kasus pelanggaran terhadap wanita di Indonesia yang memiliki wilayah yang amat luas hanya berkedudukan di Jakarta. Selain itu seperti diatas dikatakan bahwa kecenderungan pelanggaran terhadap perempuan justru sering terjadi di daerah.
B.2 Tujuan Dan Asas
Kalau kita kaji keberadaan Komnas Perempaun Dari sisi tujuan dan asas, komisi cukup jelasa mengenai tujuan dan asasnya, yaitu Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan bertujuan :
a. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak-hak asasi manusia perempuan di Indonesia;
b. meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia perempuan.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan berasaskan Pancasila dan bersifat independen. Untuk pengeluaran rutin, Komnas Perempuan memperoleh dukunganan dari Sekretariat Negara. Selain itu Komnas Perempuan juga menerima dukungan dari individu-individu dan berbagai organisasi nasional dan internasional. Komnas Perempuan melakukan pertanggungjawaban publik tentang program kerja maupun pendanaanya. Hal ini dilakukan melalui laporan tertulis yang bisa diakses oleh publik maupun melalui acara “Pertanggungjawaban Publik” di mana masyarakat umum dan konstituen Komnas Perempuan dari lingkungan pemerintah dan masyarakat dapat bertatap muka dan berdialog langsung.
B.3 Tugas
Dalam menjalankan fungsinya komisi ini memiliki beberapa tugas antara lain:
a. menyebarluaskan pemahaman atas segala bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia dan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan serta penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan;
b. melaksanakan pengkajian dan penelitian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku serta berbagai instrument internasional yang relevan bagi perlindungan hak-hak asasi manusia perempuan;
c. melaksanakan pemantauan, termasuk pencarian fakta dan pendokumentasian tentang segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran hak asasi manusia perempuan serta penyebarluasan hasil pemantauan kepada publik dan pengambilan langkah-langkah yang mendorong pertanggungjawaban dan penanganan;
d. memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatif dan yudikatif serta organisasi-organisasi masyarakat guna mendorong penyusunan dan pengesahan kerangka hukum dan kebijakan yang mendukung upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia serta perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak-hak asasi manusia perempuan;
e. mengembangkan kerja sama regional dan internasional guna meningkatkan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia serta perlindungan, penegakan dan pemajuan hak-hak asasi manusia perempuan.
BAB IV
METODE PENULISAN
1. Objek Penelitian
Dalam penelitian kali ini yang menjadi objek penelitian antara lain, yaitu: peran Komnas Perempuan Dalam menangani Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai mana diatur dalam PP No 65 tahun 2005.
2. Sumber Data
Dalam penelitian kali ini menggunakan sumberdata yang terdiri dari:
a. Bahan hukum primer : bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, seperti: Pembukaan UUD 1945, UUD 1945, Undang-undang, Peraturan Presiden, dan sebagainya.
b. Bahan hukum sekunder: hukum yang memberikan penjelasan terhadap hukum primer, seperti: buku-buku, risalah sidang, pendapat para ahli hukum keluarga, dan sebagainya.
3. Metode pengumpulan Bahan Hukum
a. Studi Pustaka, dengan mengkaji berbagai peraturan perundang-undangan atau literature yang gerhubungan dengan permasalahan penelitian
b. Studi dokumentasi, dengan mengkaji hasil laporan, pengaduan, putusan sidang dan lain-lain yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.
4. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Yuridis
Merupakan metode pendekatan dengan menganalisa permasalahan dari sudut pandang atau menurut ketentuan hukum atau perundang-undangan yang berlaku.metode ini digunakan penulis karena sesui dengan judul karya tulis, maka penulis akan menganalisis beberapa aturan perundang-undangan dan pasal-pasal yang berkaitan dengan judul karya tulis.
b. Teoritis
Merupakan pendekatan dengan menganalisa permasalahan dari sudut pandang teoritis atas suatu peristiwa yang terjadi yang menjadi obyek penelitian ini.
c. Historis
Merupakan pendekatan yang dikhususkan pada sejarah pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang diatur dalam peraturan presiden No 65 tahun 2005.
5. Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan dalam dalam penelitian kali ini adalah dengan metode anlisis deskriptif-kualitatif. Dalam metode ini data yang diperoleh akan disajikan secara deskriptif dan analisa secara kualitatif (conten analysis) dengan langkah-langkah sebagai berikut.
a. Data penelitian diklarifikasikan sesuai dengan permasalahan penelitian,
b. Hasil klarifikasi data selanjutnya disitematisasikan,
c. Data yang telah disistematisasikan kemudian dianalisa untuk dijadikan dasar dalam mengambil kesimpulan.

BAB V
ANALISA YURIDIS PERANAN KOMNAS PEREMPUAN
TERHADAP TINDAK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
A. Latar Belakang Tindak Kekerasan Dalam Rumaha Tangga
Salah satu hasil amandemen UUD 1945 adalah terjadinya perubahan secara mendasar terhadap cara berhak asasi manusia kita. Perubahan tersebut ditandai dengan diaturnya persoalan HAM dalam pasal 28 UUD 1945 hasil amandemen secara lebih luas. Persoalan HAM yang sebelumnya tidak diatur dan tidak mendapat pengakuan secara yuridis sekarang persoalan tersebut mendapatkan payung hukum yang kuat. Kondisi ini kemudian yang mendorong lahirnya UU No 23 tahun 2004.
Selain landasan konstitusional seperti diatas, lahirnya UU No 23 tahun 2004 merupakan sebuah tindak lanjut dari pencegahan terhadap diskriminasi perempuan yang pernah menjadi fenomena yang luar biasa pada era 1998. Disi yang lain dikatakan pula bahwa keberadaan peraturan tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) merupakan bukti konkret sikap formal negara yang menyatakan kekerasan di dalam rumah tangga adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta bentuk diskriminas .
Mencermati itu, pelaksanaan terhadap perlindungan tindak kekerasan dalam rumah tangga, sebagaimana diatur dalam UU No 23 tahun 2004 merupakan sutu amanat Konstitusi dan ini berarti amanat Negara yang harus dilaksanaka.
Namun permasalahan yang timbul adalah bagaimana apabila tingginya tindak kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi baru-baru ini tidak mendapatkan penyelesaian, meskipun oleh beberapa kalangan tingginya laporan tindak kekerasan yang ada diklaim sebagai keberhasilan sosialisasi dari UU KDRT. Bagi penulis hasil sosialisasi tidak menjadi jaminan bahwa tindak kekerasan dalam rumah tangga tidak akan lebih meningkan dilain waktu apabila tidak ada penanganan secara serius. Sehingga dengan kondisi ini keberadaan UU No 23 tahun 2004 pun menjadi dipertanyakan.
Dilihat dari beberap beberapa factor yang ada, menurut penelitian kami ternyata kurangnya penanganan terhadap tindak kekerasan dalam rumah tangga disebabkan oleh beberapa, yaitu:
1. Bahwa masyarakat masih menempatkan persoalan kekerasan dalam rumah tangga pada ranah privat. Hal ini bisa dilihat dari Dari 73 kasus KDRT yang terjadi Kecamatan Pacet, Solokanjeruk, Pangalengan, Paseh dan Baleendah, baru tiga kasus yang dilaporkan ke pihak berwajib, dan satu kasus telah menyeret pelakunya ke penjara. Selain itu dari Dari 706 kasus hasil penelitian Rifka Anissa Women’s Crisis Centre, pengaduan terbanyak merupakan korban kekerasam suami (70%), bahkan ada korban yang sampai buta. Namun ironisnya dari keseluruhan jumplah kasusu yang ada kurang dari 2% yang bersedia membawa kasusnya baik ke pengadilan maupun melapor ke polisi.
2. Pemahaman keagamaan yang salah
Indonesia kebanyakan masyarakatnya adalah pengikut Ahlusunah Wal Jamaah (suni), bahwa pandangan faham ini seperti diawal dikatakan merupakan pandangan yang lebih condong kepada jabariah.sehingga dengan pandangan yang seperti ini menjadi wajar apabila agama menjadi salah satu faktor penting mengapa sering terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu sejak terbukanya alam demokrasi 1998 banyak sekali bermunculan aliran-aliran baik yang liberal mauoun yang sangat ortodok atau eksklusive. Paham yang terakhir ini kelihatanya sangat berkembang di beberapa wilayah indonesia sehingga kindisi ini mendorong terjadinya peningkatan kekerasan dalam rumah tangga.
3. Masih Diterimanya faham patriarki
Jawa khusunya masih menerima faham ini secara ketat. Hal ini bisa dilihat dari Yogyakarta yang menjadi icon jawa menjadi bagian dari penyumbang tindak kekerasan di Indonesia. Laporan dari Rifka Anissa Women’s Crisis Centre yang melakukan penelitian dan menerima pengaduan dari masyarakat Yogyakarta menunjukkan bahwa budaya patriarki menjadi salah satu penyebab mengapa sering kali terjadi bentuk pelanggaran terhadap rumah tangga.
B. Upaya-Upaya yang Dilakukan Pemerinta, Khususnya Komnas Perempuan, untuk Menyelesaikan Persoalan KDRT
Untuk menyelesaikan persoalan KDRT pemerintah membentuk suatu Komini Nasional Anti Kekerasan Terhadap perempuan. Keberadaan komisi ini dilatar belakangi oleh tingginya tindak kekerasan terhadap perempuan khususnya yang menimpa etnis Tiong Hoa pada tahun 1998. Komisi yang kemudian berkonsentrasi untuk menangani kekerasan dalam rumah tangga ini muncul sebagai upaya serius pemerintah untuk menangani persolan tersebut. Sebagai sebuah lembaga yang secara khusus menangani persoalan diskriminasi terhadap perempuan, peranan Komisi ini sangat minimal, hal ini bisa dilihat dari:
1. Komnas Perempuan kedudukanya Hanya di Jakarta
Keberadaan Komnas Perempuan yang hanya berada di Jakarta menjadi bukti bahwa lembaga yang menangani persoalan kekerasan dalam rumah tangga sangat terbatas. Meskipun ada bentuk kerjasama dengan beberapa instansi lain namun hal ini tidak bisa menjadi jaminan bahwa suatu kasus KDRT bisa terselesaikan secara tuntas dengan luasnya wilayah dan jumpalah penduduk yang dimiliki Indonesia. Selain itu lembaga-lembaga lain yang bergerak dalam menangani persolan sama juga bisa dihitung jumplahnya, menjadi bukti di Yogyakarta hanya ada satu lembaga yang benar-benar konsen menangani persoalan tersebut.
2. Masih minimnya sosialisasi dan penanganan masalah KDRT oleh pemerintah
Akibat dari keterbatasan lembaga tersebut berakibat pada proses sosialisasi dan penanganan persoalan KDRT. Padahal soialisasi dan penanganan akan sanagat menentukan keberhasilan pencegahan terhadap tindak kekerasan dalam rumah tangga.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
A.1 Latar Belakang Tindak Kekerasan Dalam Rumaha Tangga
Sebagai sebuah Negara yang beradab maka bentuk tindak kekerasan apapun harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan. Rumusan tersebut telah dirumuskan Indonesia sejak awal kemerdekaanya, namun ternyata rumusan tersebut masih harus menunggu waktu apabila ingin diwujudkan secara nyata. Banyaknya praktek tindak kekerasan dalam rumah tangga yang dilatar belakangi oleh pemahaman masyarakat yang menempatkan persolan kekerasan dalam rumah tangga keranah privat membuktikan bahwa kita masih harus berjuang keras untuk mengkampanyekan bahwa persoalan kekerasan tidak bisa ditolerir karena itu menjadi persoalan privat.
Selain itu bahwa tindak kekerasan dalam rumah tangga disebabkan oleh ajaran-ajaran agama, membuktikan bahwa seakan-akan agama memberikan ruang pembenar terhadap tindak kekerasan. Pemahaman ini tentunya bertetangan dengan tujuan agama sendiri. karena pada dasarnya agama merupakan rohmatal lilalamin dan Islam sendiri merupakan kata yang berarti keselamatan menunjukkan bahwa pemehanan keagaman yang seperti itu harus segera di rubah dengan pemahaman yang lebih bisa menempatkan persolan kekerasan diluar agama.
Disis yang lain juga bahwa budaya merupakan elemen penting yang akan menentukan bagaimana tingak kekerasan terus berlangsung. Budaya patriarki khususnya yang terus bertahan, tidak ubahnya ajaran agama tadi, juga menjadi salah satu penyumbang mengapa KDRT terus berlangsung. Budaya ini memang sangat luhur supaya adanya penghormatan terhadap suami disatu sisi, namun disisi yang lain apabila tidak difahami secara benar akan menciptakan sebuah kondisi diskriminasi terhadap istri.
A.2 Upaya-Upaya yang Dilakukan Pemerinta, Khususnya Komnas Perempuan, untuk Menyelesaikan Persoalan KDRT
Persoalan KDRT adalah persolan yang amat krusial hari ini namun ternyata penanganan terhadap persolan ini masih jauh dari harapan. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa lembaga yang dusediakan oleh pemerintah untuk menangani persoalan ini masih terbatas yaitu hanya ada di Jakarta dalam hal ini adalah Komnas Perempuan. Kondisi ini berakibat pada Sosialisasi dan Penanganan terhadap bahaya KDRT dan penangananya.
B. Saran
1. Perlu adanya perubahan tata berfikir kita yang selalau menempatkan persolan kekerasan dalam rumah tangga berada diwilayah privat, kepa pemahaman bahwa kekerasan adalah sebuh tindakkan criminal dan bertentangan dengan prikemanusiaan. Disamping itu, untuk mendukung ini harus di iringi dengan pemahaman baru terhadap ajaran agama dan budaya patriarki. Bahwa agama tidak mebenarkan tindak kekerasan apapun dan juga begitu pula budaya luhur tersebut bukanlah difahami secara mutlak.
2. Pemerintah perlu memberikan suatu lembaga yang bersifat mandiri dan permanen yang kedudukanya berada di daerah supaya tindak kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi lebih parah lagi. Selain itu umumnya menurut penelitian kami tindak kekerasan dalam rumah tangga sering terjadi di daerah-daerah.

April 7, 2009 Posted by | Uncategorized | Leave a comment

STATUS YOGYA SEBAGAI DAERAH ISTIMEWA

Latarbelakang Masalah
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah provinsi tertua kedua di Negara Republik Indonesia setelah Jawa Timur.. Provinsi ini memiliki status istimewa atau otonomi khusus bukanlah sebuah kebetulan belaka. Setatus ini ada mengingat Yogyakarta merupakan sebuah provinsi Di Indonesia yang dulu sebelum Indonesia berdiri merupakan sebuah kerajaan yang mandiri dibawah kekuasaan raja yang bergelar Hamengkubuwono yaitu Kasultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman. Meskipun sebelumnya kerajaan ini berada dibawah naungan kekuasaan belanda namun keberaadaan kerajaan ini tetap diakui dan bertahan sampai Indonesia merdeka. Sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, kerajaan ini memiliki status sebagai “Kerajaan vasal/ Negara bagian/Dependent state” dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC, Hindia, Perancis (Republik Batavia Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang). Status Kerajaan ini oleh Belanda sering disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti.
Mengingat sejarah yang seperti itu maka pada masa orde lama dan orde baru setatus istiweawa tersebut terus dipertahankan. Diawali dengan sebuah pernyataan yang dikeluarkan HB IX dan Sri Paduka PA VIII pada 5 september 1945 yang kemudian dikenal sebagai amanat 5 september, Yogyakarta dinyatakan sebagai daerah istimewa dibawah naungan Negara kesatuan republic Indonesia, isi amanat tersebut adalah sebagai berikut Kami Hamengku Buwono IX, Sultan Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat menjatakan:
1.Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.
2.Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kami pegang seluruhnya.
3.Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mengindahkan Amanat Kami ini.
Demikian tadi amanat yang dibuat oleh Sultan Yogyakarta, adapaun amanat yang dibuat olah sri paduka PA VIII adalah sebagai berikut: Kami Paku Alam VIII Kepala Negeri Paku Alaman, Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat menjatakan:
1.Bahwa Negeri Paku Alaman jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.
2.Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Paku Alaman, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Paku Alaman mulai saat ini berada ditangan Kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja Kami pegang seluruhnja.
3.Bahwa perhubungan antara Negeri Paku Alaman dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Paku Alaman mengindahkan Amanat Kami ini.
Sebagai sebuah kerajaan yang ada sebelum Indonesia ada dan kini kerajaan tersebut terlepas dari belenggu penjajahan sebenarnya Yogyakarta bisa saja menyatakan Independen bahkan tidak bergabung dengan Indonesia, akan tetapi denganadanya kedua amant ini, setatus Yogyakarta menjadi berbeda dan tentunya membawa konsekuensi hukum dan politi berbeda. Pernyataan yang mengatakan pemerinatah Yogyakarta berwenang untuk mengatur dan mengurus wilayah negaranya sendiri dan bahwa hubungan penguasa Yogyakarta dengan pemerintah Repulik Indonesia secara langsung menempatkan Yogyakarta menjadi istimewa tetapi tetap berada dibawah naungan Indonesia.. Status ini kemudian diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia Soekarno yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI pada 6 september 1945. Payung hukum yang kemudian terkenal dengan sebutan piagam penetapan ini sebenarnya sudah dikeluarkan Sukarno pada 19 Agustus 1945 setelah ada lobi intensif dengan wakil Kesultanan Yogyakarta yang menjadi anggota PPKI, Pangeran Puruboyo, tentang kesanggupan Kesultanan (dan Kepangeranan) untuk berdiri di belakang Republik yang baru dua hari diproklamasikan. Piagam ini akhirnya baru diberikan pada 6 September 1945 setelah ada sikap resmi dari kedua kerajaan untuk mendukung Republik Indonesia yang diumumkan pada 5 September 1945. Adapun isi piagam penetapan adalah sebagai berikut :
Piagam Kedudukan Sri Paduka Ingkeng Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono IX
Kami, Presiden Republik Indonesia, menetapkan:
Ingkeng Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono, Senopati Ing Ngalogo, Abdurrahman Sayidin Panotogomo, Kalifatullah Ingkang Kaping IX Ing Ngayogyakarta Hadiningrat, pada kedudukannya,
Dengan kepercayaan bahwa Sri Paduka Kangjeng Sultan akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga, untuk keselamatan Daerah Yogyakarta sebagai bagian daripada Republik Indonesia.
Jakarta, 19 Agustus 1945
Presiden Republik Indonesia
Ir. Sukarno
Sedangkan piagam penetapan untuk kadipaten pakualaman adalah sebagai berikut:
Piagam Kedudukan Sri Paduka Kangjeng Gusti Pangeran
Adipati Ario Paku Alam VIII
Kami, Presiden Republik Indonesia, menetapkan:
Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII Ingkang Kaping VIII, pada kedudukannya,
Dengan kepercayaan bahwa Sri Paduka Kangjeng Gusti akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga, untuk keselamatan Daerah Paku Alaman sebagai bagian daripada Republik Indonesia.
Jakarta, 19 Agustus 1945
Presiden Republik Indonesia
Ir. Sukarno
Meskipun pernyatan Soekarno tidak mengatakan secara ekplisit bahwa Yogyakarta memiliki setatus Istimewa, akan tetapi setatus Istimewa ini telah diterima disemua kalangan terbukti seatatus istimewa tersebut telah dimaterialkan dalam UU No 3 tahun 1950 Jo UU No 19 tahun 1950 mengenai Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta dan sampai hari ini setatus tersebut terus bertahan. Itulah gambaran singkat bagaimana setatus Yogyakarta menjadi daerah istimewa diawal-awal kemerdakaan Indonesia.
Seiring dinamisasi politik yang terjadi yang dibarengi dengan terjadinya amandemen UUD 1945 ternyata setatus keistimewaan tersebut juga mengalami pergulatan, selain dikarenakan bermunculanya beberapa daerah lain yang bersetataus Istimewa akan tetapi juga mulai dipertanyakan kembali apa sebenarnya makna keistimewa Yogyakarta.
Makna Keistimewaan Yogyakrta
Daerah istimewa pada dasarnya dalah setatus pengakuan terhadap hak-hak dan asal-usul satuan pemerintahan lokal yang bersumber dari hukum asli Indonesia. Dalam tradisi hukum tata negara disebut sebagai persekutuan masyarakat hukum otonom yangh memiliki hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Pengakuan tersebut diberikan berdasarkan alasan-alasan:
1.kesejarahan eksistensi dan perkembangan organisasi pmemerintahan
2.organisasi pemerintah dan kewenangan yang dimiliki
3.kemampuan organisasi pemerintahan dalam meyesuaikan diri terhadap perkembangan system politik ketatanegaraan
4.kontribusi organisasi pemerintah terhadap kesejahteraan masyarakat, keberadaan bangsa dan Negara
5.kemampuan dalam menampung tuntutan demokratisasi dan pluralisme.
Makna keistimewaan seperti itu sesuai degan kehendak pasal 18 a ayat 1 UUD 1945. dalam ketentuan UUD tersebut ditegaskan bahwanegara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus dan istimewa yang diatur dalam undang-undang. Dengan adanya ketentuan yang seperti ini maka perubahan atas UU No 3 tahun 1950 Jo UU No 19 tahun 1950 tentang pembentukan daerah istimewa Yogyakarta memperoleh landasan yuridis konstitusional yang jelas. Bahakan UUD tersebut memperbolahkanya.
Berdasarkan makna yang demikian itu, maka UU memberikan definisi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah daerah otonom setingkat provinsi yang sebelumnya adalah kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, yang memperoleh pengakuan Negara sebagai daerah istimewa sesuai hak-hak dan asal-usul daerah dan diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam kerangka Negara kesatauan Republik Indonesia.
Beberapaha konsepsi yuridis-historis diatas sudah sangat jelas menyatakan bagaimana setataus istimewa Yogyakarta sehingga pada dasarnya pembentukan UU keistimewaan untuk Yogyakarta tidaklah menjadi sebuah persoalan., Akan tetapi mengapa proses pembentukan setatus Istimewa tersebut sangat berbelit-belit sampai sekarang. Ada beberapa hal yang bisa dijadikan alasan menagapa hal ini terjadi. pertama Yogyakarta sebagai sebuah Provinsi bukanlah termasuk provinsi yang kaya, sehingga dikhawatirkan setatus Istimewa tersebut akan memberatkan tanggung jawab negara. Kedua, mengingat kondisi tersebut maka Yogyakarta bukanlah daerah yang rawan konflik sehingga setatus Istimewa tidak relevan lagi bagi daerah ini. Ketiga, karena bukan daerah yang kaya maka yogyakarta bukanlah tujuan utama pembangunan, karena Investasi baik yang bersekala nasioanal maupun internasional tidaklah akan menjadi begitu bermakna di Yogyakarta.
Dengan melihat beberapa hal diatas sudah bisa dipastikanlah bahwa setatus Istimewa bukan menjadi prioritas pemerintah pusat terhadap Yogyakarta. Dari kondisi yang seperti ini penulis merasa ada yang tidak konsisten mengenai sikap pemerintah pusat terhadap setatus Yogyakarta khususnya apabila dihubungkan dengan amanat pasal 18 A UUD 1945. Untuk itu ada beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah mengenai status Yogyakarta, antara lain:
1.Setatus Istimewa Yogayakarta jangan selalu diletakkan diranah politik
2.Kita harus benar-benar menghargai sejarah, bahwa Yogayakarta bukanlah daerah taklukan akan tetapi Pada waktu itu berupa Negara yang merdeka dan menggabungkan diri dengan pemerintah pusat
3.dan terakhir Pemerintah harus benar-benar mengindahkan amanat UUD 1945 mengingat Negara kita adalah Negara hukum.
Dari uraian singkat diatas maka bisa ditarik beberapa kesimpulan, setatus istimewa Yogyakarta ada bukan karena pergulatan politik yang terjadi, akan tetapi merupakan amanat UUD 1945 dan mandat sejarah para Funding Father

March 29, 2009 Posted by | Uncategorized | Leave a comment

Disfungsi Partai Politik dan ketidakjelasan Konstituenya

Prosese pemilihan wakil rakyat baik yang ada di DPR, DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten/kota seperti yang ada dalam UU No 10 tahun 2008, diatur dengan mekanisme bahwa pemilih bebas memilih partai yang berbeda sebagai wakil mereka ditingkat pusat sampai ditingkat daerah tingkat II. Artinya pemilih bisa menentukan secara berbeda bisa wakil mmereka yang duduk DPR dari partai Golkar, anggota DPRD provinsi dari partai Geringa dan di DPRD tingkat kabupaten/ kota dari partai-partai apa saja. Dari sini menunjukkan bahwa perbedaan yang terjadi pada garis perpolitikan menjadi tidak bermakna lantas kemudian dimana fungsi sebenarnya partai politik tersebut apabila garis perbedaan kepentingan menjadi tidak berarti dalam pemilihan anggota DPR, DPR provinsi dan kabupaten/kota.
Di Indonesia partai politik diartikan sebagai organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dari defininisi ini keberadaan partai politik digunakan untuk mengakomodir garis perbedaan diantara warga sehingga perbedaan-perbedaan pandangan dan kepentingan bisa terwadahi dalam bentuk yang lebih kongkrit.
Bersamaan denga pengertian itu meminjam definisi yang dipakai Carl J. Friedrich dan Sigmund Naumann pada dasarnya partai politk yang dibentuk oleh sekelompok manusia yang terorganisir secara setabil adalah untuk mencapai tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pemimpin partainya atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda. Pandangan-pandangan diatas bisa disimpulkan bahwa sebenarnya partai politik ada adalah untuk mengakomodir setiap fragmentasi kepentingan sehingga perbedaan tersebut bisa terorganisir dan tersalurkan secara memadai kepada pemerintah melalui partai politik. Sehingga dari sisni bisa diketahui beberapa fungsi partai politik. Berhubungan dengan hal itu, Miriam Budiarjo membagi beberapa fungsi partai politk dalam negara demokrasi sebagai berikut: partai politik ada sebagai sarana kominikasi politik, partai politik sebagai sarana sosialisasi politk, partai politk ada sebagai sarana recruitmen masyarakat untuk aktif dalam berpolitkan, dan yang terakhir partai poltik ada sebagai alat management conflik.
Berkaitan dengan model pemilihan anggota DPR, DPR provinsi dan kabupaten/kota dan beberapa definisi dan fungsi partai politk diatas, penulis merasa ada beberapa kelemahan mengenai tata cara berpolitik kita khususnya berkaitan dengan tata cara pemilihan wakil rakyat. Dengan tidak samanya pilihan garis politk wakil rakyat ditingkat pusat dan daerah maka akan mengakibatkan bebarapa hal antara lain:
a.ketidak jelasan konstituen dari setiap partai politk
konstituen partai politk merupakan elemen utama dalam menetukan apakah partai politik tertentu legitimate atau tidak. Besarnya jumpah anggota sangat menentukan bahwa partai politik tersebut dapat menjadi atau bahkan merebut pemerintahan sehingga apa yang menjadi tujuan awal keberadan partai politik tersebut tercapai. Karena konsepsi demokrasi memang mengharuskan bahwa kekuasaan harus dibentuk oleh suara masyarakat
Memandang terjadi ketidak jelasnya alur politik masyarakat seperti diatas lalu bagai mana menjawab realita bahwa partai politik ada dan eksis ditentukan oleh masyarakat. Bagaimana kita bisa menyatakan bahwa partai politk yang mendapat suara terbanyak dan menjadi penguasa ditingkat pusat bisa benar-benar legitimasi ditingkat bawah. Sehingga dengan kondisi yang seperti itu menjadi wajar apabila partai politk justru menjadi oligarki dalam masyarakat maka jangan pernah mengeluh apabila selalu terjadi perbedaan visi anata masyarakat dengan partai politk. Kesalahan sistem memang sangatlah menentukan terjadinya kesimpangsiuran legitimasi sebuah partai politik.
b.Perbedaan pilihan wakil ditingkat pusat dan daerah menyebabakan gagalnya komunikasi politik antara warga Negara dengan wakilnya.
Partai politik secara fungsional ada adalah sebagai sarana kominikasi antara masyarakat dengan wakil mereka baik ditingkat pusat maupun daerah. Jalinan komunikasi ini bisa berjalan dengan baik apabila terjadi hubungan hirarki yang baik antara wakil rakyat yang ada dipusat dengan yang ada diaderah. Sehingga penbelokan pilihan terhadap partai politk yang lain pada daerah akan secara langsung akan memutus pula jalinan komunikasi masyarakata yang ada di daerah dengan yang ada diatasnya.
Melihat kelemahan-klemahan yang terjadi dalam aturan yang mengatur mengenai pemilihan anggota DPR, dan DPR baik ditingkat Provinsi maupun kabupaten/kota. Ada beberapa hal yang mesti dilakukan apabila ingin berjalanya jalinan kominikasi antara konstituen partai politk mulai dari tingkat yang paling bawah sampai yang paling atas, sehingga legitimasi mereka sebagai sarana komunikasi politk benar-benar terjamin. Hal-hal yang mestidilakukan antara lain:
1.Dibuatnya sebuah aturan yang mengatur bahwa masyarakat wajib menyamakan pandangan politknya dengan memilih wakil mereka menggunakan partai yang sama.
2.Diciptakanya sebuah mekanisme informasi yang mudah baik oleh pemerintah maupun internal parpol sendiri, apabila masyarakat ingin mengetahui calan wakil mereka mulai dari tingkat pusat sampai daerah. sehingga masyarakat bisa menentukan pilihanya secara mudah karena banyaknya alternative pilihan

March 29, 2009 Posted by | Uncategorized | Leave a comment

AMBIGUISTIK DPD RI SEBAGAI LEMBAGA PERWAKILAN DAERAH

Dalam menciptakan sebuah ssstem ketatanegaraan yang baik, gonta-ganti system haruslah difahami dalam rangka membentuk pola pemerintahan yang benar-benar bisa menjamin terlaksananya tujuan Negara. Munculnya lembaga Negara DPD RI merupakan bagian dari itu. DPD RI kewenanganaya yang tidak memadai sebagai sebagai sebuh lembaga Negara hari ini terus berusaha untuk menyesuaikan diri dengan posisi yang dimiliki. Usaha yang tarsus dilakukan tersebut antara lain dengan melakukan usulan amandemen UUD 1945 kepada MPR. Apakah usaha tersebut menui hasil saya kira biar dinamisasi politik yang berkerja dan kita juga tidak akan membicarakan persoalan tersebut disisni. Hanya saja saya ingin mencoba mendudukkan DPD RI pada wilayah yang lebih teoritik.
DPD RI sebagai sebuah lembaga Negara terlepas dari banyaknya kelemahan yang dimiliki meruapakan sebuah lembaga negara yang memiliki fungsi perwakilan. Berbeda dengan DPR RI, yang fungsi perwakilanya lebih kepada masyarakat secara individu/ golongan, dan bersifat party-representation, DPD RI sejak awal ditujukkan untuk mewakili daerah sebagai Regional-representation, bersifat non partisan, dan system pemilihanya menggunakan system suara terbanyak. Karena DPD RI berangkat dari wilayah yang berbeda maka bentuk perwakilanyapun berbeda. Kalau DPR RI lebih bertitik tolak pada kepentingan kelompok yang bersifat primordial. DPD RI ingin menjadi lembaga perwakilan yang bersifat kewilayahan dengan melepaskan batas-batas kepentingan primordial yang ada disetiap daerah. Akan tetapi apakah DPD RI seperti yang di idealkan tersebut? Jawabanya jelas ternyata kenyataan selalu berbeda dengan yang di idelakan. DPD RI memiliki sejumplah kelemahan sebagai sebuah lembaga Negara baru, kelemahan tersebut bisa dilihat, antara lain:
a. Lemahnya Format Konstitusioanal mengenai Fungsi, Hak dan Kewajiban
Sejak awal keberadaan DPD RI dan pertama kali dilantik 1 Oktober 2004, secara konstitusional kewenanganya memang sengaja sudah dikebiri. Terbukti sebagai sebuah lembaga nebagara fungsi hak dan keweajibanya tidak diatur secara langsung dalam UUD 1945 hanya diatur dalam undang-undang susunan dan kedudukan lembaga negara, berbeda dengan lembaga-lembaga negar laian seperti MK, DPR, Presiden dll yang diatur secara langsung dalam konstitusi. Tidak hanya disitu, meskipun fungsi, hak dan kewajibanya sudah tidak diataur pada wilayah yang semestinya. Fungsi, hak, dan kewajiban tersebut sengaja dibatasi, sehingga lembaga ini tidak mencerminkan sebagai sebuah lembaga negara. sebagai perbandingan, Sebagai sebuah lembaga perwakilan dalam negara lanyaknya DPR yang seharusnya memegang kekuasaan membentuk undang-undang, memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan, DPD RI kewenanganya hanya dibatasi pada pengajuan rancangan undang-undang kepada DPR dan DPD RI hanya ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; pembentukan; pemekaran; dan penggabungan daerah; pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainya, serta perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakiloan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rangcangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
Dari situ menjadi benar apabila ada upaya-upaya oleh beberapa fihak yang ingin membubarkan DPD RI karena dianggap pemborosan terhadap keuangan negara dan kas negara. akan tetapi menurut penulis pendapat ini kelihatan sangat terburu-buru, mengingat pertama DPD RI sebagai sebuah lembaga negara baru dan kedua DPD RI harus terlebih dahulu diberi kesempatan untuk memperbaiki kekuaranganya, apabila memang tidak ada perubahan maka menjadi wajar apabila kita mngarah kepada pembubaran.
b.DPD RI Belum Bisa Benar-Benar Diarahkan Pada Regional Representation
Seperti diawal dikatakan bahwa DPD RI ada sebagai lembaga perwakilan yang mewakili daerah dalam kontek wilayah (Regional-representation). Sehingga kewenanganya hanyalah membawa aspirasi daerah dalam kontek wilayah dan diapresiasikan di pemerintah tingkat pusat. Karena seperti itu maka bentuk kepentinganya tidak bersifat politis apalagi bersifat partisan yang mewakili komponen tertentu dalam daerah.
Wilayah regional dalam pengertian DPD RI yang dipahami hari ini adalah wilayah propinsi dengan prinsip persamaan disetiap propinsi yang ada di Indonesia. Sebagaimana dalam UUD 1945, setiap propinsi memiliki wakil yang sama dalam DPD RI (Yang pernah terjadi setiap Propinsi di Indonesia diwakili oleh empat orang wakil).
Dengan format seperti itu, Saya melihatnya adanya ketidak jelasan mengenai mekanisme hubungan antara DPD RI dengan Wilayah Provinsi itu sendiri, Ketidak jelasan diawali dengan pemaknaan regional reperesentation dengan jumplah anggota yang mewakili dalam DPD. Luasnya wilayah yang dimiliki secara berbeda oleh masing-masing propinsi di Indonesia dan jumpah kabupaten yang tidak sama yang dimiliki oleh setiap propinsi secara langsung membatalkan prinsip keadillan yang diharapkan apabila setiap propinsi diwakili oleh jumpah wakil yang sama. Selain itu, dengan mematok batas wakil tertentu dalam setiap propinsi dengan tidak dijaminya hubungan yang jelas antara anggota DPD RI dengan provinsi yang diwakili ketika terjadi perbedaan visi yang amat mencolok antara visi provinsi dengan anggota DPD RI, pemerintahan provinsi tidak bisa melakukan control terhadap wakil mereka yang ada di DPD RI.
c.Konsep Otonomi Daerah Yang Terlalu Luas
salah satu alasan mengapa DPD RI muncul adalah karena daerah menginginkan memiliki wakil di pemerintahan di tingkat pusat hal ini dilatar belakangi terjadinya praktek sentralisasi kekuasaan oleh pemerintah pusat dan tidak dilibatkanya daerah dalam pengambilan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan mereka. Alasan lain mengapa DPD RI muncul adalah terjadninya pergolakan didaerah yang mengarah kepada dis integrasi bangsa. Untuk melengkapi tuntutan daerah tersebut muncullah DPD RI ini diawali pula oleh kebijakan otonomi daerah yang tersusun dalam pasal 18 UUD 1945 dan undang-undang otonomi daerah yang mengiringinya, seperti UU No 22 tahun 1999 dan UU No 32 tahun 2004 mengenai Otonomi daerah dan UU No 25 tahun 1999 dan UU No 33 tahun 2004 mengenai perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
Munculnya kedua paket kebijakan ini pada awalnya memang menjadi angin segar bagi daerah khususnya daerah yang memiliki sumberdaya alam besar. Besarnya ruang untuk mengelola daerah menjadikan daerah munculnya elit-elit yang bersifat nasional, meningkatnya pembangunan di daerah, dan masih banyak lagi. Besarnya ruang gerak daerah yang diatur dalam undang-undang tanpa disadari ternyata menciptakan masalah baru. Masalah tersebut berkaitan dengan lembaga negara baru DPD RI dimana kebijakan otonomi daerah cenderung melemahkan lembaga baru tersebut. Kecenderungan ini bisa dilihat pada kebijakan otonomi daerah yang sangat Rigid dengan pembagian kewenangan pemerintah pusat hanya dibatasi pada politik luar negeri; pertahanan; keamanan;yustisi; moneter dan fiskal nasional; dan agama dengan menempatkan residual power pada pemerintah daerah. Kebijakan ini benar-benar mebatasi ruang gerak DPD RI sebagai lembaga baru, belum lagi kewenangan tersebut masih harus dibagi dengan DPR RI.
Kondisi-kondisi di atas mebenarkan apabila DPD RI sebagai lembaga negara yang dianggab sebagaian kalangan seperti wujuduhu kaadamihi artinya keberadaan DPD RI sebagai sebuah lembaga negara diragukan dan eksistensinya tidak memberikan pengaruh apa-apa sehingga adanya seperti tidak adanya. Dari situ maka harus ada upaya yang serius yang dilakukan khususnya oleh DPD RI sendiri guna mewujudkan dirinya sebagai lembaga negara yang ideal. Upaya-upaya tersebut antara lain:
1.Menambahkan fungsi, hak, dan kewajiban DPD RI menjadi sejajar dengan DPR RI dalam UUD 1945 melalui amandemen;
2.menciptakan pola hubungan yang jelas antara anggota DPD RI dengan daerah yang diwakilinya;
3.Memperjelas pemaknaan atas wilayah regional yang menjadi basis representasinya;
4.Meninjau ulang kebijakan otonomi daerah yang sesuai dengan format kelembagaan Negara DPD RI; dan terakhir yang sangat menentukan
5.DPR RI harus bersikap akomodatif terhadap keberadaan DPD RI.
Apapun kondisi ketata negaraan kita hari ini harus selalu ditempatkan pada pengertian bahwa perkembangan yang terjadi sampai hari ini merupakan sebuah upaya serius untuk mewujudkan cita-cita bernagara kita. Cara-cara yang ditempuh apabila belum sempurna harus diletakkan pada sebuah tahap pencarian cara yang paling baik sembari berdialektika dengan perkembangan realita ketata negaraan.

March 29, 2009 Posted by | Uncategorized | Leave a comment

PEMURNIAN SISTEM PRESIDENSIL DI INDONESIAMELALUI PENYEDERHANAAN SISTEM KEPARTAIAN

A.Struktur Ketatanegaraan Dan Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Pasca Amandemen
1. Amandemen Undang – Undang Dasar 1945
Tampilnya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia yang kedua pada tahun 1966 menandai berakhirnya masa rezim orde lama. Dan pada saat yang bersamaan, rezim orde baru memegang kendali kekuasaan di Indonesia. Jargon yang sering diusung oleh orde baru adalah bahwa orde baru merupakan rezim kekuasaan yang berpegang pada prinsip melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen.
Istilah atau prinsip murni dan konsekuen ternyata ditafsirkan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 “tidak boleh” diubah, karena akan menghilangkan kemurniannya. Setelah rezim orde baru tumbang pada tahun 1998, maka isu amandemen Undang-Undang Dasar 1945 terus dihembuskan. Dan pada akhirnya, Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen sebanyak empat kali pada periode 1999-2002. Setiap tahun pada periode tersebut dilakukan amandemen sebanyak satu kali.
Undang – Undang Dasar 1945 yang berlaku sekarang adalah Undang-Undang Dasar yang diberlakukan kembali ketika Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 1 Juli 1959. Sehingga seluruh pembahasan tentang Undang-Undang Dasar adalah Undang-Undang Dasar yang berlaku pasca dekrit tersebut.
Menurut Harun Alrasid1, Undang-Undang Dasar 1945 sebenarnya telah mengalami beberapa kali perubahan sebelum dilakukannya amandemen pada masa reformasi. Namun, perubahan Undang-Undang Dasar tersebut dilakukan di luar Undang – Undang Dasar itu sendiri (buiten de grondwet). Perubahan-perubahan tersebut antara lain :
1.Penambahan kriteria usia 40 tahun bagi Presiden maupun Presiden melalui Tap MPR No II / MPR / 1973 Tentang Tata Cara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden telah mengubah pasal 6 Undang-Undang Dasar 1945.
2.Pengutamaan tata cara pengambilan keputusan melalui musyawarah untuk mufakat dalam Tap MPR No 1 / MPR / 1983 telah mengubah pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa pengambilan segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat dilakukan dengan suara terbanyak.
3.Penetapan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk memberhentikan Presiden dalam Tap MPR No 1 / MPR / 1983 telah mengubah pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945.
4.Penetapan untuk mengisi kekosongan hukum dalam Undang – Undang Dasar 1945 mengenai pengisian jabatan Wakil Presiden melalui Tap MPR No VII / MPR / 1973 Tentang Keadaan Presiden dan Wakil Presiden Berhalangan telah mengubah Undang – Undang Dasar 1945 dengan membuat ketentuan bahwa dalam hal Wakil Presiden berhalangan tetap, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan Sidang Istimewa Khusus untuk memilih dan mengangkat Wakil Presiden apabila Presiden dan / atau Dewan Perwakilan Rakyat memintanya.
5.Pemasukan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) ke dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia telah mengubah pasal 10 Undang-Undang Dasar 1945.
Selain Harun Alrasid, Satya Arinanto pun berpandangan bahwa sebenarnya Undang – Undang Dasar 1945 telah mengalami perubahan sebelum amandemen tahun 1999. Perubahan – perubahan tersebut antara lain2 :
1.Kemunculan tugas dan wewenang khusus Presiden/Mandataris MPR dalam rangka penyuksesan dan pengamanan pembangunan nasional dalam Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat 1973, 1978, 1983, 1988, dan 1998 telah mengubah ketentuan tentang tugas – tugas dan wewenang Presiden dalam Undang – Undang Dasar 1945.
2.Keberadaan menteri-menteri yang tidak memimpin departemen, seperti menteri kordinator, menteri negara, dan menteri muda dalam beberapa kabinet pembangunan pada masa orde baru telah mengubah pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa para menteri memimpin departemen pemerintahan.
3.Kemunculan Tap MPR No IV / MPR / 1983 dan Undang – Undang No 5 Tahun 1985 telah mengubah pasal 37 Undang – Undang Dasar 1945 tentang Tata Cara Perubahan Undang – Undang Dasar.
4.Pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden melalui Tap MPR No XIII / MPR / 1998 telah mengubah pasal 7 Undang – Undang Dasar 1945.
Apakah bentuk-bentuk perubahan di atas dapat dikategorikan sebagai perubahan Undang-Undang Dasar ?
Menurut hemat penulis, bentuk-bentuk di atas tidak dapat dikategorikan sebagai perubahan terhadap Undang-Undang Dasar. Walaupun dalam beberapa contoh di atas disebutkan bahwa yang “melakukan” perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga yang berwenang melakukan perubahan konstitusi, namun ada dua hal yang tidak dipenuhi oleh proses itu, yaitu :
1.Ketetapan – ketetapan MPR tersebut tidak dengan sengaja dilakukan untuk mengubah Undang – Undang Dasar 1945. Boleh dikatakan bahwa ketetapan – ketetapan MPR tersebut merupakan kebijakan yang diambil tersendiri oleh MPR secara kelembagaan.
2.Perubahan – perubahan tersebut tertuang dalam Ketetapan MPR yang secara hierarkis berada di bawah konstiusi. Sehingga dalam logika hierarki peraturan perundang – undangan, sebuah peraturan tidak bisa mengubah peraturan yang berada di atasnya. Sehingga jelas bahwa Tap MPR tidak bisa mengubah Undang – Undang Dasar 1945.

Perubahan Undang – Undang Dasar 1945 baru bisa diakui ketika dilakukan amandemen pada tahun 1999 untuk pertama kalinya. Amandemen terhadap Undang – Undang Dasar 1945 merupakan sebuah konsekuensi logis dari adanya reformasi yang menginginkan perubahan menyeluruh terhadap berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan yang lebih bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sebagai sebuah landasan paling dasar dalam tata kehidupan negara dan penyelenggaraan pemerintahan, maka sangat beralasan jika amandemen konstitusi menjadi agenda utama yang harus dijalankan.
Pada tanggal 19 Oktober 1999, untuk pertama kalinya Majelis Permusyawaratan Rakyat secara tegas memulai proses amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dengan mengeluarkan Perubahan Pertama UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengubah Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 ayat (2), Pasal 20, dan Pasal 213. Amandemen selanjutnya dilakukan pada 18 Agustus 2000, 9 November 2001, dan 10 Agustus 2002
Dari empat macam tipe perubahan yang konstitusi yang dibahas pada bab sebelumnya, maka amandemen Undang – Undang Dasar 1945 menggunakan perubahan tipe pertama, yaitu oleh lembaga legislatif dengan pembatasan yang ada ( by the ordinary legislature but under certain restriction ). Lembaga legislatif yang dimakud di sini adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan pembatasannya adalah ketentuan syarat minimal atau quorum yang harus dipenuhi untuk bisa mengubah Undang – Undang Dasar 1945. Setelah mengalami empat kali amandemen konstitusi, maka Indonesia memasuki babak baru kehidupan bernegara dengan struktur ketatanegaraan dan aturan main bernegara yang baru.

2.Struktur Ketatanegaraan dan Sistem Pemerintahan Indonesia Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar 1945.
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan sebanyak empat kali secara signifikan telah memberi corak baru dalam struktur ketatanegaraan dan sistem pemerintahan di Indonesia. Perubahan struktur tersebut terjadi pada ketiga cabang kekuasaan yang ada di Indonesia, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

a.Kekuasaan yudikatif.
Dalam struktur ketatanegaraan yang lama, kekuasaan kehakiman dipegang oleh Mahkamah Agung. Walaupun dalam prakteknya, kekuasaan kehakiman sebenarnya berada di bawah dua atap, yaitu Mahkamah Agung dan Presiden. Dibentuknya Departemen Kehakiman yang berada di bawah Presiden menunjukkan bahwa eksekutif memiliki intervensi yang kuat ke dalam wilayah peradilan. Dalam struktur ketatanegaraan yang baru, kekuasaan kehakiman dijalankan oleh dua lembaga, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Kedua lembaga tersebut bersifat independen dan terlepas dari intervensi lembaga manapun. Dalam Undang – Undang Dasar 1945, pengaturan tentang kekuasaan kehakiman terdapat dalam Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 24 ayat (1) disebutkan bahwa “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan“. Ayat selanjutnya, yaitu ayat (2) berbunyi “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkingan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi“. Dalam struktur kekuasaan kehakiman ini, terdapat dua lembaga baru yang sebelumnya tidak ada, yaitu Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga tinggi negara yang sederajat dengan Mahkamah Agung. Wewenang Mahkamah Konstitusi sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24C ayat (1) adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus sengketa hasil pemilu. Wewenang lainnya yang disebutkan adalam ayat berikutnya, yaitu ayat (2) adalah Mahkamah Konstitusi memberi putusan terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Lembaga lainnya, yaitu Komisi Yudisial bukanlah lembaga yang memegang kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial adalah lembaga independen yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung, dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Ketentuan mengenai Komisi Yudisial ini terdapat dalam Undang–Undang Dasar 1945 Pasal 24B.
b.Kekuasaan legislatif
Dalam teori Trias Politica, kekuasaan legislatif merupakan kekuasaan untuk membentuk undang-undang. Dalam struktur ketatanegaraan Indonesia saat ini, pada prinsipnya kekuasaan legislatif dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif sehari-hari. Walaupun demikian, Undang-Undang Dasar 1945 telah melahirkan lembaga legislatif yang baru, yaitu Dewan Perwakilan Daerah. Dewan Perwakilan Daerah merupakan lembaga yang dibentuk sesuai dengan kebijakan otonomi daerah yang digulirkan pasca reformasi. Sehingga wewenang yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Daerah berkaitan erat dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pembahasan lebih lanjut tentang kekuasaan legislatif, terutama Dewan Perwakilan Rakyat akan dibahas dalam bagian tersendiri, terutama berkaitan dengan kekuasaan eksekutif.
c.Kekuasaan eksekutif.
Kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan sehari – hari. Di Indonesia, kekuasaan eksekutif dipegang oleh Presiden. Pengaturan mendasar tentang kekuasaan eksekutif ini terdapat dalam Undang – Undang Dasar 1945 Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang – Undang Dasar”. Pembahasan lebih lanjut tentang kekuasaan eksekutif akan dibahas dalam bagian tersendiri, terutama berkaitan dengan kekuasaan legislatif.

3.Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden dalam Struktur Ketatanegaraan Republik Indonesia.
a.Dewan Perwakilan Rakyat sebagai Lembaga Legislatif Sehari-hari.
Lahirnya DPR setelah Indonesia ditandai dengan keluarnya Maklumat Wakil Presiden No X Tahun 1945 pada tanggal 16 Oktober 19454. Maklumat tersebut mengubah status KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dari yang sebelumnya sebagai badan yang semata-mata membantu Presiden menjadi badan yang menjalankan tugas-tugas legislatif dan membentuk GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara). Dalam perjalanannya, DPR mengalami berbagai macam perubahan, baik nama maupun status dan kewenangannya. Saat ini, pasca dilakukannya empat kali amandemen UUD 1945, DPR tampil dengan wajah baru yang diharapkan mampu menjalankan fungsinya dengan lebih optimal. Dalam UUD 1945, ketentuan mengenai DPR terdapat dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 22. Berikut ini adalah pasal-pasal mengenai DPR yang ada dalam UUD 1945 dan berkaitan dengan Presiden.
1.Pasal 19 ayat (1) : Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum ( Perubahan Kedua, tahun 2000 ).
Sebelum dilakukannya amandemen, UUD 1945 tidak menyebutkan cara pengisian keanggotaan DPR5. Hal tersebut mengakibatkan rezim yang berkuasa seringkali melakukan intervensi pada cara pengisian keanggotaan DPR. Pada masa orde lama, Presiden Soekarno pernah membubarkan DPR dan menggantinya dengan DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong). Seluruh anggota DPRGR diangkat oleh Presiden. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, pengisian keanggotaan DPR dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui pemilihan umum (untuk mewakili partai politik), dan dengan pengangkatan. Intervensi yang dilakukan oleh Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto telah menyimpang dari semangat yang ingin dibangun dalam eksistensi lembaga perwakilan, yaitu DPR. Intervensi yang dilakukan oleh kedua Presiden tersebut telah membuat DPR kehilangan power dalam menjalankan fungsinya. Dalam UUD 1945 sekarang, seluruh anggota DPR berasal dari partai politik yang dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Saat ini, anggota DPR berjumlah 550 orang.
2.Pasal 19 ayat (2) : Susunan Dewan Perwakilan diatur dengan Undang-Undang ( Perubahan Kedua, tahun 2000 ).
Untuk melaksanakan amanat pasal ini, maka dibentuklah UU Nomor 22Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Ketentuan yang berkaitan dengan DPR dalam hal ini dirangkum dalam Bab III yang terdiri dari 16 (enam belas) pasal, yaitu pasal 16 sampai pasal 31.
3.Pasal 19 ayat (3) : Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam setahun (Perubahan Kedua, tahun 2000).
Ketentuan dalam pasal ini tidak memiliki motivasi yang jelas. Dalam prakteknya, sejak masa PPKI sebagai DPR Semenatara hingga sekarang, DPR memang selalu melaksanakan sidang sehari – hari. Sehingga tanpa ketentuan ini pun, secara otomatis DPR akan melaksanakan sidang minimal sekali dalam setahun. Hal ini dikarenakan DPR adalah lembaga legislatif sehari-hari yang menuntut DPR untuk bersidang secara rutin. Sehingga boleh dikatakan bahwa ketentuan dalam Pasal 19 ayat (3) terlalu berlebihan.
4.Pasal 20 ayat (1) : Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang (Perubahan Pertama, tahun 1999).
Dalam UUD 1945 sebelum amandemen, tidak ada ketentuan seperti ini. Dalam UUD 1945 lama tersebut justru disebutkan bahwa Presiden lah yang memegang kekuasaan membentuk undang – undang. Ketentuan dalam UUD 1945 lama ini mengandung anomali6. Presiden adalah pemegang kekuasaan eksekutif dan menjalankan pemerintahan negara. Dan kekuasaan membentuk undang-undang seharusnya ada pada lembaga perwakilan rakyat sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat. Walaupun pada perkembangan sekarang sangat sulit untuk sama sekali tidak melibatkan eksekutif dalam proses pembentukan undang-undang, namun kekuasaan membentuk undang – undang seharusnya tetap berada di tangan DPR.
Selain itu, pada prakteknya di masa pemerimtahan Presiden Soeharto, ketentuaan dalam UUD 1945 lama ini menjadikan Presiden memiliki kekuasaan yang sangat besar. Presiden seringkali menjadi penentu isi dari suatu undang – undang. Selain itu, ketentuan seperti itu mengurangi inisiatif DPR untuk mengajukan sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU). Terakhir, setiap RUU yang diajukan oleh Presiden seolah – olah harus disetujui oleh DPR.
Dalam UUD 1945 yang baru, kekuasaan membentuk undang-undang dikembalikan lagi kepada DPR dengan mengubah Pasal 20 ayat (1). Dan dalam rangka menjalankan prinsip check and balances, maka Pasal 5 ayat (1) pun diubah, menjadi “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR“. Pasal ini tidak bermakna bahwa Presiden memiliki kekuasaan membentuk undang-undang, namun Presiden hanya memiliki hak inisiatif untuk mengajukan rancangan undang-undang. Sedangkan kekuasaan untuk mengesahkan undang-undang tetap berada di tangan DPR.
5. Pasal 20 ayat (2) : Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. (Perubahan Pertama, tahun 1999).
Ketentuan dalam pasal ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak menganut prinsip separation of power, di mana proses pembentukan undang-undang mutlak dilakukan oleh legislatif tanpa melibatkan eksekutif. Persetujuan bersama antara DPR dengan Presiden bertujuan agar undang-undang yang dihasilkan dapat dilaksanakan secara optimal karena kedua lembaga telah sepakat mengenai substansi undang – undang tersebut.
6.Pasal 20 ayat (4) : Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang (Perubahan Pertama, tahun 1999).
Kata Presiden dalam pasal ini mengandung makna Presiden sebagai kepala negara, bukan kepala pemerintahan. Sehingga pengesahan oleh Presiden merupakan prosedur ketatanegaraan semata. Selain itu, sebenarnya tidak ada alasan bagi Presiden untuk tidak megesahkan sebuah rancangan undang-undang, karena rancangan undang-undang tersebut telah mendapat persetujuan bersama. Namun demikian, tetap diperlukan klausula pengaman jika seandainya terjadi kasus di mana Presiden tidak mengesahkan sebuah RUU yang telah disetujui bersama. Dalam UUD 1945, klausula pengaman tersebut terdapat dalam Pasal 20 ayat (5) yang berbunyi “Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang itu disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan”.
7.Pasal 20 A ayat (1) : Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi kontrol (Perubahan Kedua, tahun 2000).
Ketiga fungsi tersebut merupakan fungsi yang dimiliki oleh DPR, termasuk berkaitan dengan hubungan kerja dengan eksekutif. Fungsi legisalasi merupakan fungsi yang juga melekat dengan wewenang DPR untuk membentuk undang-undang. Fungsi anggaran terkait dengan turut sertanya DPR dalam menyusun anggaran belanja tahunan negara. Dalam fungsi anggaran ini melekat pula fungsi kontrol. Sedangkan fungsi kontrol sendiri terkait dengan pengawasan yang dilakukan oleh DPR terhadap kinerja eksekutif. Dalam prakteknya, fungsi pengawasan ini biasanya dilakukan dalam bentuk rapat kerja antara komisi-komisi tertentu di DPR dengan menteri kabinet yang terkait.
8.Pasal 20 A ayat (2) : Dalam menjalankan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain dalam Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyampaikan pendapat. (Perubahan Kedua, tahun 2000).
Secara keseluruhan, hak-hak DPR yang dimuat dalam UUD 1945 adalah hak inisiatif, hak anggaran, hak interpelasi, hak angket, dan hak meyatakan pendapat. Hak inisiatif dan hak anggaran telah dibahas di depan. Hak interpelasi merupakan suatu bentuk permintaan pertanggungjawaban mengenai suatu kebijakan pemerintah atau atas suatu peristiwa yang sangat penting bagi bangsa dan negara7. Dalam praktek dan kepustakaan, hak interpelasi ini identik dengan sistem parlementer8. Hak interpelasi ini secara teoritik dapat mengarah pada mosi tidak percaya, dan akhirnya pada pemberhentian eksekutif dari jabatannya.
Hak angket merupakan hak untuk menyelidiki suatu peristiwa. Hak angket ini merupakan hak yang sangat jarang digunakan. Hak ini pernah digunakan dalam kasus Buloggate dan BLBI. Hak angket dapat digunakan untuk suatu fact finding atau untuk merumuskan kebijakan.
Hak menyatakan pendapat disebut juga resolusi parlementer. Dalam sistem parlementer, hak ini dapat berlanjut menjadi hak interpelasi dan seterusnya. Hak ini juga bisa berupa dukungan politik terhadap suatu kebijakan yang dilakukan atau harus dilakukan oleh pmerintah.

b.Kekuasaan Presiden menurut UUD 1945
Pada dasarnya, UUD 1945 menghendaki pemerintahan yang stabil, sehingga sistem pemerintahan yang dipilih adalah sistem presidensil. Sehingga ada beberapa prinsip yang digunakan dalam UUD 1945, yaitu9 :
1.Sistem eksekutif tunggal, berada di tangan presiden.
2.Presiden adalah kepala pemerintahan, selain berposisi sebagai kepala negara.
3.Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR maupun MPR.
4.Dalam menjalankan fungsinya, Presiden berhak mengeluarkan bentuk-bentuk peraturan. Bahkan dalam kondisi mendesak, Presiden berhak mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang kedudukannya sejajar dengan UU.
Walaupun pada prinsipnya kekuasaan legislatif dipegang oleh DPR, namun Presiden pun berperan dalam sebuah proses penyusunan undang-undang. Presiden berhak mengeluarkan Rancangan Undang-Undang yang kemudian akan dibahas bersama-sama dengan DPR untuk mendapatkan persetujuan dari kedua pihak. Bahkan pada prakteknya, sebagian besar undang-undang yang dihasilkan meupakan usulan dari eksekutif.
Dari uraian singkat di atas, dapat dilihat bahwa Indonesia sebenarnya “berusaha” untuk memakai sistem pemerintahan presidensil. Hal tersebut bisa jadi karena Indonesia memiliki catatan kelam dengan sistem pemerintahan parlementer. Sehingga dengan mempertegas sistem presidensil, diharapkan Indonesia mampu menjalankan roda pemerintahan dengan lebih baik.
B.Anomali Dalam Sistem Pemerintahan Presidensil Di Indonesia.
Di atas telah disebutkan bahwa Indonesia menggunakan sistem pemerintahan presidensil dengan harapan agar roda pemerintahan bisa berjalan dengan lebih stabil. Namun ternyata, sistem presidensil di Indonesia tidak sesuai dengan konsep presidensil sepenuhnya. Dengan kata lain, ada anomali dalam sistem presidensil di Indonesia10. Penulis membatasi anomali tersebut berklaitan dengan hubungan Presiden dengan DPR. Anomali dalam sistem presidensil ini terbagi menjadi dua, yaitu anomali struktur dan anomali praktis.
1.Anomali Struktur.
Anomali struktur merupakan kejanggalan atau penyimpangan yang diakibatkan oleh kesalahan pengaturan dalam konstitusi atau peraturan hukum lainnya. Pengaturan dalam konstitusi ini tidak sesuai dengan konsep sistem presidensil yang sebenarnya. Anomali-anomali struktural tersebut lebih disebabkan adanya tumpang tindih antara konsep pemisahan kekuasaan dengan pembagian kekuasaan.dalam hubungan DPR dengan Presiden.
Sistem presidensil disusun berdasarkan prinsip pemisahan kekuasaan, bukan pembagian kekuasaan. Namun, UUD 1945 masih menggunakan prinsip pembagian kekuasaan dalam beberapa hal. Misalnya mengenai pembahasan bersama DPR dengan Presiden atas sebuah RUU serta ketentuan Presiden harus memperhatikan pertimbangan DPR dalam hal pengangkatan duta dan konsul (pasal 13 ayat (2)). Pembahasan bersama sebuah RUU mungkin bisa dipahami mengingat prinsip check an balances. Namun dalam hal pengangkatan duta dan konsul, tidak seharusnya Presiden memperhatikan pertimbangan DPR. Hal itu karena pengangkatan duta dan kosul merupakan wilayah kerja hubungan luar negeri yang jelas-jelas merupakan kekuasaan eksekutif.
Hal yang sama juga terjadi pada pasal 17 ayat (4) yang menyatakan bahwa pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang. Pengaturan dalam undang-undang berarti memerlukan persetujuan DPR. Padahal, kemeterian negara sebagai pembantu Presiden merupakan hak perogratif Presiden.
2.Anomali Praktis
Anomali praktis merupakan penyimpangan yang terjadi dalam praktek ketatanegaraan sehari-hari, dan bukan berasal dari konstitusi. Penyimpangan praktis ini dapat terlihat jelas dalam beberapa kasus antara DPR dengan Presiden.
a.Keragu-raguan Presiden dalam menyusun dan merombak kabinet. Ketika Soesilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai Presiden, Presiden seharusnya dapat dengan segera menyusun kabinet berdasarkan pertimbangan pribadinya. Namun, dapat dilihat bahwa SBY ragu-ragu dalam menyusun kabinet. Bahkan ketika kabinet Indonesia Bersatu diumumkan, SBY dengan jujur mengakui bahwa ia harus memperhatikan permintaan partai-partai politik pendukungnya. Pada waktu itu SBY mengungkapkan kondisi itu dengan bahasa “setelah melakukan komunikasi politik dengan para pimpinan partai politik….”. Hal yang sama terjadi ketika SBY merombak kabinet sebanyak dua kali. Pada perombakan pertama, Alwi Shihab yang tidak mendapat dukungan dari PKB dicopot. Dan Erman Suparno yang didukung oleh PKB naik menjadi menteri. Beberapa menteri lain yang menunjukan kinerja tidak terlalu istimewa tetap dipertahankan karena masih memiliki dukungan politik yang kuat, misalnya Aburizal Bakrie dan Bambang Sudibyo. Hal yang sama terjadi pada perombakan kabinet kedua. Yusril dicopot, sedangkan Hatta Radjasa dipertahankan. Fenomena ini menunjukkan bahwa partai politik masih mampu menekan SBY sebagai Presiden. Suatu hal yang tidak wajar terjadi pada sistem di mana Presiden memiliki kekuasaan yang besar.
b. DPR masih berpengaruh besar dalam beberapa kebijakan pemerintah yang seharusnya menjadi wewenang Presiden. kasus resistensi dari DPR menyangkut kebijakan pemerintah dalam menaikan harga BBM menunjukan bahwa DPR merasa masih memiliki hak untuk mencampuri kebijakan pemerintah. Hal yang sama terjadi ketika DPR memprotes kebijakan pemerintah untuk mengimpor beras. Bahkan protes dari DPR tersebut hampir berujung pada penggunaan hak interpelasi. Bahkan, pada kebijakan pemerintah mendukung resolusi PBB dalam menjatuhkan sanksi terhadap Iran dalam kasus nuklir benar-benar berujung pada penggunaan hak interpelasi. Padahal, kebijakan pemerintah tersebut merupakan kebijkan luar negeri yang jelas-jelas merupakan wewenang eksekutif.

C.Anomali Sistem Pemerintahan Dan Korelasinya Dengan Sistem Pemilu Dan Sistem Kepartaian Di Indonesia.
Dari anomali sistem pemerintahan di Indonesia seperti yang telah diuraikan di atas, maka kita dapat melihat sebuah hubungan yang rancu antara Presiden dengan DPR. Kerancuan yang dimaksud adalah dalam tindakan politis sehari-hari, di mana Presiden bertindak secara “presidensil”, sedangkan DPR bertindak secara “parlementer”. Dalam pola tindakan seperti ini, kedua lembaga mengklaim memiliki posisi politik yang kuat. Hal itu sangat logis, karena dalam sistem presidensil, kekuatan politik lebih besar cenderung dimiliki oleh eksekutif. Di sisi lain, dalam sistem parlementer, posisi politik lebih besar cenderung dimiliki oleh legislatif/parlemen. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa dalam sistem presidensil di Indonesia dapat terjadi kerancuan hubungan seperti itu ?
Untuk memjawab pertanyaan di atas, titik awal yang bisa diajadikan acuan adalah melacak dari sistem pemilu dan sistem kepartaian di Indonesia. Dalam pemilu 2004, rakyat Indonesia memilih anggota-anggota DPR, DPD, dan pasangan Presiden-Wakil Presiden. Ketiga pemilihan tersebut menggunakan sistem pemilihan yang berbeda. Ketiga sistem pemilihan tersebut akan diuraikan sebagai berikut11 :
1.Pemilihan anggota DPR dengan sistem Perwakilan Proporsional Daftar Terbuka (Open List System). Dalam sistem ini, Indonesia terlebih dahulu dibagi ke dalam beberapa distrik pemilihan, yang dikenal dengan Daerah Pemilihan (Dapil). Kemudian ditentukan juga kuota atau suara minimal yang harus dipenuhi untuk bisa terpilih sebagai anggota parlemen. Kuota tersebut dikenal dengan Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Calon Anggota Legislatif (caleg) yang mampu memenuhi BPP secara otomatis terpilih sebagai anggota parlemen. Namun jika tidak memenuhi BPP, maka suara caleg tersebut dialihkan kepada caleg lain yang berada di atasnya secara proporsional. Daftar caleg yang bersaing ditampilkan secara terbuka, sehingga pemilih bisa memilih kandidat yang menjadi pilihannya. Sistem seperti ini dimaksudkan agar terdapat ikatan yang kuat antara anggota parlemen terpilih dengan konstituen di daerah pemilihannya.
2.Pemilihan Anggota DPD dengan sistem First Past the Post. Dalam sistem ini, kandidat yang terpilih adalah kandidat yang mendapat suara terbanyak dari total suara pemilih yang masuk. Karena pada Pemilu 2004 rakyat memilih empat orang anggota DPD tiap provinsi, maka kandidat yang terpilih adalah empat kandidat yang mendapat suara terbanyak.
3.Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dengan Two Round System. Sistem ini merupakan penyempurnaan dari sistem Absolute Majority. Dalam sistem absolute majority, kandidat yang terpilih adalah yang mendapat suara mayoritas (50% + 1 ). Namun maslahnya adalah jika terdapat lebih dari dua kandidat dan tidak ada yang mendapat suara mayoritas. Maka, dalam two round system, dua kandidat yang mendapat suara terbanyak maju ke putaran berikutnya untuk memperebutkan suara. Dalam pemilu Presiden 2004, putaran pertama menghasilkan pasangan SBY-JK dan Megawati-Hasyim sebagai dua pasang kandidat dengan suara terbanyak. Pada putaran kedua, SBY-JK berhasil mengungguli pasangan Megawati-Hasyim dengan total suara lebih dari 60%, yang mengantarkan keduanya menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2004-2009.
Sepintas memang tidak ada yang salah dengan ketiga sistem pemilihan yang dipakai pada pemilu 2004. Namun jika dicermati, ternyata ketiga sistem pemilihan tersebut berasal dari keluarga sistem pemilihan yang berbeda. Sistem Perwakilan Proporsional Daftar Terbuka yang digunakan untuk memilih anggota DPR berasal dari keluarga sistem pemilihan Perwakilan Proporsional (proportional representation) yang cocok untuk sistem parlementer. Sedangkan sistem first past the post untuk DPD dan two round system untuk Presiden berasal dari keluarga sistem pemilihan plurality-majority yang cocok untuk sistem presidensil.
Sistem perwakilan proporsional digunakan untuk memilih anggota DPR agar kandidat yang terpilih mendapat basis dukungan yang kuat dan lebih medekatkan kandidat tersebut dengan konstituennya. Efeknya adalah DPR mendapat posisi politik yang kuat. Di sisi lain, two round system yang digunakan dalam pemilihan presiden pun membuat presiden yang terpilih mendapat posisi politik yang kuat karena didukung oleh mayoritas pemilih secara langsung. Melihat fakta ini, maka sangat logis jika kemudian kedua lembaga, yaitu DPR dan Presiden, sama-sama merasa memiliki posisi politik yang kuat di atas dukungan rakyat yang memilihnya. Suatu hal yang rancu dalam sistem presidensil, karena sistem presidensil menginginkan eksekutif memiliki kekuatan yang lebih besar daripada legislatif. Namun, jika dalam teori kedua lembaga tersebut sama-sama memiliki posisi politik yang kuat, kenapa SBY sebagai presiden cederung “terintimidasi” oleh DPR ?
Sebenarnya, SBY sebagai presiden tidak terintimidasi oleh DPR, melainkan terintimidasi oleh partai-partai politik yang notabene menjadi penghuni DPR. Kondisi tersebut diakibatkan SBY-JK ketika maju dalam pemilihan presiden hanya didukung oleh partai kecil, yaitu Partai Demokrat. Maka, ketika terpilih SBY-JK langsung dihadapkan pada koalisi oposisi di parlemen yang jauh lebih kuat, yang merupakan koalisi dari PDIP dan Partai Golkar serta beberapa partai politik lainnya. Peta politik memang langsung berubah ketika Jusuf Kalla berhasil menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Terpilihnya JK membuat Partai Golkar beralih haluan menjadi partai pendukung pemerintah. Namun, kondisi tersebut belum membuat SBY aman sepenuhnya, karena oposisi yang dibangun oleh PDIP masih menjadi kekuatan yang cukup besar di DPR.
Di samping itu, partai-partai politik yang mendukung SBY pun di sisi lain cukup merepotkan SBY. Hal tersebut karena SBY dalam posisi “terancam” jika tidak memperhatikan suara dari partai-partai politik pendukungnya tersebut. Banyaknya partai politik yang mendukung justru menjadi bumerang sendiri bagi SBY. Sampai titik ini dapat ditarik kesimpulan bahwa banyaknya partai politik di Indonesia berkontribusi besar dalam menimbulkan kerancuan dalam sistem pemerintahan presidensil di Indonesia. Maka, penyederhanaan sistem kepartaian menjadi sebuah keharusan jika ingin memurnikan sistem presidensil di Indonesia.

D.Menyederhanakan Sistem Kepartaian Melalui Pendekatan Yuridis Dan Politis.
1.Landasasn Yuridis Pelaksanaan Pemilu di Indonesia dan Kontribusinya terhadap Anomali Sistem Presidensil
Dalam uraian sebelumnya didapat kesimpulan bahwa kerancuan sistem pemilu dan sistem kepartaian di Indonesia telah membawa efek negatif berupa anomali dalam sistem pemerinahan. Sehingga, perlu penyederhanaan sistem kepartaian untuk menunjang efektivitas sistem presidensil di Indonesia.
Saat ini, landasan yuridis pelaksanaan pemilu di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Ketiga UU tersebut dilengkapi pula dengan Perpu No 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 12 Tahun 2003 dan UU No 10 Tahun 2006 tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2006 Menjadi Undang-undang. Saat ini, DPR bersama pemerintah sedang membahas Paket RUU Politik yang di dalamnya membahas beberapa perangkat hukum yang baru untuk pelaksanaan pemilu di Indonesia.
Dalam UU No 23 Tahun 2003 pasal 25 disebutkan bahwa calon Presiden dan calon Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu. Kalimat “gabungan partai politik” menunjukkan bahwa seorang Presiden sangat mungkin untuk didukung oleh lebih dari satu partai politik. hal itulah yang terjadi pada SBY, di mana sekarang SBY didukung oleh beberapa partai politik.
Dalam aturan yang lebih spesifik mengenai partai politi peserta pemilu, yaitu UU No 12 Tahun 2003 pasal 7 ayat (1), disebutkan syarat-syarat untuk menjadi partai politik peserta pemilu, yaitu:
a.Diakui keberadaannya sesuai dengan UU No 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik
b.Memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 dari sejumlah provinsi di Indonesia
c.Memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangya di 2/3 dari jumlah kabupaten/kota di provinsi di mana pengurus provinsi berada
d. Memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 orang atau sekurang-kurangnya 1/1.000 dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan partai politik.
e.Pengurus yang terbentuk di tiap daerah harus mempunyai kantor tetap
f.Mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU.
Dari syarat-syarat tersebut sangat jelas terlihat bahwa tidak ada pembatasan jumlah partai politik di Indonesia. Siapapun boleh mendirikan partai politik dan menjadi peserta pemilu asalkan memenuhi kriteria di atas. Maka tidak mengherankan jika pemilu 2004 masih diikuti oleh banyak partai politik, yaitu 24 partai politik.
UU No 12 Tahun 2003 sebenarnya juga berusaha untuk membatasi jumlah partai politik pada pemilu berikutnya. Pembatasan yang dimaksud dituangkan dalam pasal 9 ayat (1) yang menetapkan syarat-syarat keikutsertaan partai politik pada pemilu berikutnya, yaitu:
a.Memperoleh sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi DPR
b.Memperoleh sekurang-kurangnya 4% kursi jumlah kursi DPRD provinsi yang tersebar di sekurang-kurangnya ½ jumlah provinsi di Indonesia
c.Memperoleh sekurang-kurangnya 4% kursi jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar di sekurang-kurangnya ½ jumlah kabupaten/kota di Indonesia
Selanjutnya ayat (2) memberikan alternatif jika sebuag partai politik tidak memenuhi ketentuan di atas, namun masih ingin mengikuti pemilu berikutnya, alternatif yang dimaksud adalah:
a.Bergabung dengan partai politik peserta pemilu yang memenuhi ketentuan seperti diatur dalam ayat (1)
b.Bergabung dengan partai politik lain yang sama-sama tidak memenuhi ketentuan dalam ayat (1), kemudian menggunakan identitas salah satu partai politik gabungan tersebut sehingga mencapai perolehan kursi minimal
c.Bergabung dengan partai politik lain yang tidak memeuhi ketentuan dalam ayat (1) lalu membentuk partai politik baru sehingga mencapai perolehan kursi minimal.
Pembatasan jumlah suara minimal yang didapat partai politik sebagai syarat keikutsertaan pada pemilu berikutnya lazim disebut electoral treshold. Dalam syarat di atas, jelas bahwa electoral treshold yang ditetapkan adalah sebesar 3%. Jika partai-partai politik mau bersikap fair, maka pembatasan seperti itu sebenarnya bisa menjadi jalan menuju penyederhanaan partai politik. Namun, ketentuan seperti itu ternyata bisa diakali dengan cara mengganti nama partai politik. Sebuah partai politik yang tidak memenuhi electoral treshold cukup mengganti nama partai, sehingga statusnya menjadi partai politik baru tanpa harus bergabung dengan partai politik lain. Dari sini dapat dilihat bahwa electoral treshold saja tidak bisa menjadi sarana untuk menyederhanakan partai politik di Indonesia. Perlu tambahan perangkat yuridis untuk menjamin penyederhanaan partai politik bisa tercapai.

2.Solusi Alternatif Menuju Sistem Kepartaian yang Lebih Sederhana
Untuk mencapai sistem kepartaian yang lebih sederhana dengan mengurangi jumlah partai politik peserta pemilu, tidak cukup mengandalkan electoral treshold semata. Karena strategi mengganti nama partai cukup untuk melewati electoral treshold tersebut. Berikut ini adalah beberapa alternatif solusi menuju penyederhanaan sistem kepartaian di Indonesia.
a.Menetapkan electoral treshold lebih tinggi.
Dengan menetapkan electoral treshold lebih tinggi, diharapkan lebih sedikit partai politik yang bisa lolos ke pemilu berikutnya. Angka electoral treshold yang bisa ditetapkan harus melalui perhitungan ilmiah dan akademis disesuaikan dengan batas sampai sesederhana mana sistem kepartaian di Indonesia.
b.Membatasi kesempatan penggantian nama partai politik sebanyak satu kali.
Seperti telah dibahas di atas, mengganti nama partai cukup untuk melewati electoral treshold. Dan jika partai politik yang telah mengganti nama partainya lagi-lagi tidak lolos electoral treshold, maka partai politik tersebut masih bisa mengganti nama berulang kali. Kemungkinan seperti ini akan mempersulit penyederhanaan sistem kepartaian di Indonesia. Dengan pembatasan penggantian nama hanya satu kali, maka diharapkan tidak akan ada partai politik yang berulang kali mengganti nama hanya agar bisa mengikuti pemilu berikutnya.

c.Membatasi gerak politik para politisi
Pembatasan sebaiknya tidak hanya pada partai politik secara kelembagaan, tetapi juga pada politisi yang berkecimpung di dalam partai politik tersebut. Untuk menjamin tidak banyak partai politik baru yang terbentuk, maka harus ada pembatasan “nafsu” membentuk partai politik, yang biasanya dbentuk oleh politisi lama yang telah berkecimpung dalam partai politik lain. Pembatasan tersebut misalnya seseorang hanya boleh menjadi pengurus di paling banyak dua partai politik yang berbeda. Jika partainya tidak berhak mengikuti pemilu, maka ia harus bergabung dengan partai politik yang sudah ada. Dengan demikian dapat dicegah kemungkinan bermunculannya partai politik baru. Syarat seperti ini juga diharapkan mampu mengurangi fenomena politisi kutu loncat yang tidak sehat dalam perpolitikan Indonesia.
d.Mempersulit pembentukan partai politi baru
Secara teknis, solusi ini diaplikasikan dengan klausul bahwa sebuah partai politik harus memiliki kepengurusan di seluruh provinsi dan seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Dengan tambahan klausul ini, diharapkan tidak banyak partai politik baru yang bermunculan.
e.Menetapkan parliament treshold
Parliament treshold adalah batas minimal jumlah kursi yang diperoleh oleh suatu partai politik agar bisa menempatkan wakilnya di legislatif12. Batasan ini seperti halnya electoral treshold diharapkan akan menjadi penyaring untuk memperkecil jumlah partai politik di Indonesia.
Kelima alternatif solusi di atas memang terkesan tidak demokratis, karena membatasi hak politik dan hak berorganisasi seseorang. Namun yang perlu dipahami adalah demokrasi sesungguhnya bukanlah kebebasan yang bersifat mutlak. Demokrasi yang dijiwai oleh kebebasan mutlak hanya akan melahirkan anarkisme, termasuk anarkieme politik. Sebuah kebebasan menemui batasnya jika kebebasan tersebut telah mengganggu hak orang lain. Dalam hal ini, kebebasan membentuk partai politik yang tanpa batas telah mengganggu hak rakyat Indonesia untuk menikmati pemerintahan yang stabil, sehingga pembatasan dalam berpartai politik sesungguhnya tidak melanggar demokrasi, namun justru akan menumbuhkan kedewasaan berdemokrasi.

3.Pentingnya Pendekatan Politis
Berbagai alternatif solusi untuk menyederhanakan partai politik di atas harus dituangkan ke dalam produk hukum yang kuat, yaitu undang-undang. Masalah yang kemudian muncul adalah kemungkinan munculnya reaksi penolakan dari mereka yang merasa hak politiknya terancam.
Jika melihat kondisi politik saat ini, mereka yang kemungkinan akan menolak solusi di atas adalah mereka yang tidak terlalu memiliki posisi politik yang tinggi, karena berasal dari partai politik atau kekiatan politik yang relatif kecil. Mereka yang berasal dari partai politik besar tidak akan terancam oleh ketentuan di atas. Justru dari celah inilah bisa diambil titik awal untuk menerapkan solusi di atas.
Dalam salah satu artikel yang dimuat oleh Harian Kompas, Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Pramono Anung menjelaskan posisi partainya yang mendukung wacana penyederhanaan partai politik. Hal ini menjadi titik cerah bahwa wacana penyederhanaan partai politik didukung oleh kekuatan salah satu kekuatan politik terbesar di Indonesia.
Pendekatan politis lainnya harus pula dilakukan terhadap kekuatan besar lainnya, seperti Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, dan partai lainnya. Jika pendekatan politis ini berhasil, maka penyederhanaan sistem kepartaian yang bermuara pada pemurnian sistem presidensil di Indonesia tidak hanya sekedar menjadi wacana, namun bisa menjadi kenyataan. Semuanya pada akhirnya akan bertitik akhir pada kesejahteraan rakyat.

March 8, 2009 Posted by | Uncategorized | Leave a comment

DPRD SEBGAI BAGIAN PEMERINTAHAN DAERAH

Sebagai sebuah negara yang memiliki penduduk terbanyak keempat dunia dan memiliki wilayah yang luas seluas Eropa timur, Indonesia dalam menentukan identitas bentuk Negara yang sesuai telah menaglami bebarapa kali perubahan. Sejak diproklamasikan 17 agustus 1945 sampai sekarang, setidaknya bentuk Negara kesatuan dan federal sama-sama pernah menjadi alternative pilihan. Praktek bentuk Negara federal pernah dilakukan pada tahun 1949, dengan sebutan Republik Indonesia Serikat dibawah konstitusi RIS. Pada waktu itu Indonesia dibagi menjadi tujuh negara bagian (Negara Republik Indonesia (Yogya), Indonesia Timur, Pasundan, Jawa Timur, Madura, Sumatera Timur dan Sumatera Selatan dan sembilan satuan kenegaraan yang berdiri sendiri, yaitu Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau , Kalimatan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur. Karena pembentukan Negara federal Indonesia pada waktu itu lebih dilatar belakngi oleh Konfrensi Meja Bundar dan banyak mendapatkan pengaruh asing khususnya Belanda, maka bentuk Negara ini tidak bertahan lama, yaitu hanya bertahan satu tahun karena pada 17 agustus 1950 indonesia kembali kepada bentuk Negara kesatuan dibawah UUDS 1950. dengan berakhirnya konsep Negara federal tersebut ternyata juga mengakhiri diterimanya bentuk-bentuk Negara lain selain Negara kesatuan. Bahkan dalam UUD 1945 pasal 37 ayat ayat setelah amandemen bentuk Negara kesatuan tersebut dikukuhkan menjadi bentuk Negara yang tidak bisa dirubah. Sehingga keadaan tersebut mengubur wacana-wacana perubahan bentuk Negara kesatuan kealternatif bentuk Negara yang lain. Sebagai contoh wacana yang dilontarkan oleh bapak Amin Rais mengenai bentuk Negara federal, wacana tersebut langsung ditanggapi sebagai sebuah wacana yang akan mengancam persatuan bangsa. Sehingga beliau menarik wacana tersebut.
Setelah Indonesia menetapkan bentuk Negara yang paling relefan adalah bentuk Negara kesatuan. Untuk menjalankan roda pemerintahan Negara menerima konsep pembagian kekuasaan secara vertical dengan sistem otonomi daerah. Pembagian kekuasaan vertical ini adalah pembagian kekuasaan dengan format berjenjang mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah tingkat I, dan pemerintah daerah tingkat II tetapi kendali kedua pemerintahan daerah tersebut tetap berada dipemerintah pusat. Pemerintah daerah diberi kewenangan untuk menjalankan pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi untuk provinsi, dan asas tugas pembantu dengan otonomi selauas luasnya, Tujuanya supaya tercapai demokratisasi didaerah dan mempermudah pemerintah mendistribusikan kebijakan terhadap masyarakat. dalam menjalankan roda demokrasi di daerah, proses pemilihan kepala daerah dan anggota DPRD dilakukan secara langsung. Sehingga wakil yang hanya diharapkan oleh rakyatlah yang akan menududuki kursi Bupati maupun dewan. Akan tetapi meskipun kepala daerah dan DPRD dipilih secara langsung ternyata hal tersebut tidak benar-benar bisa memberikan kewenangan yang mutlak dalam menbuat kebijakan khususnya di DPRD. DPRD dalam membuat kebijakan kewenanganaya dibatasi pada mengusulkan dan membahas rancangan perda kemudian ditetapkan oleh bupati. DPRD tidak memiliki kewenangan membentuk perda sebagaimana kewenanngan DPR membentuk UU. Tentunya timbul pertanyaan bagaimana kewenangan DPRD yang dibatasi pada mengusulkan dan membahas rancangan perda apabila ditinjau dari demokrasi yang dilaksanakan secara langsung didaerah?. Terkait dengan itu apakah diterimanaya konsep trias politika secara tegas dibenarkan dalam otonomi daerah dibawah Negara kesatuan?.
Menurut usep Ranawijaya beberapa ciri-ciri demokrasi adalah adanya sistem pembagian tugas antara lembaga-lembaga yang bersifat saling membatasi dan mengimbangi, dan lemabaga-lembaga perwakilan sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat dan tugas perundang-undangan dan mengendalikan badan eksekutif. Dari kedua ciri-ciri demokrasi tersebut bahwa keberadaan lembaga perwakilan merupakan keharusan dalam demokrasi. Karena lembaga ini merupakan penjelmaan dan tempat penyalur aspirasi rakyat. DPRD sebagai salah satu cabang pemerinthan di daerah merupakan wadah dan tempat untuk mengakomodir keinginan rakyat. Sebagai sebuah lembaga yang mewakili kepentingan rakyat dan dipilih secara langsung DPRD memiliki hak penuh untuk membuat kebijakan dalam lingkup daerah demi kesejahteraan rakyat. Apabila fungsi DPRD dibatasi hanya pada lapangan mengusulkan rancangan perda seperti yang diatur dalam UU No 32 tahun 2004 mengenai otonomi daerah tentunya DPRD sebagai salah satu cabang pemerintah daerah tidak bisa menjalankan fungsi check and balance seperti yang diharapkan dalam demokrsi. Selain itu, Robert. A Dahl dalam bukunya Democracy and Its Critics mengatakan bahwa pemusatan kekuasaan hanya pada satu lembaga tidak bisa dibenarkan dalam sebuah Negara demokrasi. sehingga DPRD sebagai sebuah lembaga daerah harus benar-benar terbebas dari pembatasan lembaga daerah lain apapun dalam membuat suatu kebijakan.
Dari sini tidak bisa diragukan lagi, pelaksanaan konsep trias politika memang benar-benar harus dilakukan. Pembagian pemerintahan daerah kepada tiga cabang kekuasaan eksekutif ( Gubernor atau Bupati/Walikota), legislative (DPRD kabupaten/kota atau Provinsi), dan yudikatif (Pnegadilan Tinggi maupun Negri) secara sempurna, merupakan prasarat terjadinya demokrasi dan check and balance. Terkait dengan bertentangan tidaknya konsep trias politika diterapkan dalam pemerintahan daerah dengan Negara kesatuan tidak bisa dipertemukan. Karena konsep trias politika berada dalam wilayah demokrasi ( partisipasi politik masyarakat), sedangkan konsep Negara kesatuan berbicara masalah bentuk Negara. Trias politika merupakan sebuah cara menghindari terjadinya penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan pemerintah. Sedangkan bentuk negara kesatuan untuk menjaga keutuhan bangsa dari perpecahan.
Diterapkanya trias politika didaerah memang seakan-akan menyamai lembaga Negara yang dimiliki pusat, akan tetapi itu tidak lantas daerah menjadi sebuah Negara dalam Negara. Format kelembagaan yang ada dia derah tidak bisa dijadikan alasan untuk mngklaim bahwa daerah menjadi Negara. Mekanisme pengawasan yang dilakukan pusat terhadap prodak kebijakan daerah tetap menentukan bahwa daerah menjadi sub ordinasi dari pemerintah pusat. Jadi tidak ada negara dalam negara yang didasarkan pada format lembag Negara.

March 7, 2009 Posted by | Uncategorized | Leave a comment

Sekilas pandang Federalisme di Indonesia

Negara federal berangkat dari satu asumsi dasar bahwa ia dibentuk oleh sejumlah negara atau wilayah yang independen, yang sejak awal memiliki kedaulatan atau semacam kedaulatan pada dirinya masing-masing. Negara-negara atau wilayah-wilayah itu yang kemudian bersepakat membentuk sebuah federal. Negara dan wilayah pendiri federal itu kemudian berganti status menjadi negara bagian atau wilayah administrasi dengan nama tertentu dalam lingkungan federal. Dengan kata lain, negara atau wilayah yang menjadi anggota federasi itulah yang pada dasarnya memiliki semua kekuasaan yang kemudian diserahkan sebagian kepada pemerintahan feder. Dalam hal ini kewengan pemerintah federal lebih terbatas dibandingkan Negara bagian dalam bahasanya Jimly residual powernya Negara federal diletakkan pada Negara Bagian.
Dalam khasanah sejarah pembentukan negra Indonesia, diawal kemerdekan Indonesia pernah mencoba konsep ini, yaitu dengan dibentunya negara RIS pada tanggal 27 Desember 1949 yang terdiri dari 16 daerah bagian, yaitu tujuh negara bagian (Negara Republik Indonesia (Yogya), Indonesia Timur, Pasundan, Jawa Timur, Madura, Sumatera Timur dan Sumatera Selatan dan sembilan satuan kenegaraan yang berdiri sendiri, yaitu Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau , Kalimatan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur.
Federasi yang pernah terjadi di Indonesia sebenarnya disebabkan oleh KMB yang dilaksanakan pada 2 November 1949 antara fihak Indonesia dengan belanda. KMB ersebut menghasilkan tiga keputusan 1.pembentukan Negara Republik Indonesia Serikat 2. penyerahan kedaulatan kepada Negara Republik Indonesia Serikat 3. pembentukan Uni RIS-Belanda sehingga pembentukan UUD akan dipersiapkan oleh delegasi Republik Indonesia Bersama (BFO).
Hasil kerja antara BFO dengan fihak belanda tersebut menghasilkan Konstitusi RIS. Kata konstitusi dalam dalam konstitusi RIS tersebut dugunakan dalam arti yang sama dengan UUD yang dipakai amerika serikat. Muatan yang ada dalam konstitusi RIS ini menganut bentuk republik federasi.besistem pemerintahan parlementer disertai kebijaksanaan bahwa parelemen tidak dapat menjatuhkan presiden, dan ini semua bisa dilihat dalam pasal 118 dan 122 konstitusi RIS.
Pemegang kedaulatan RIS adalah pemerintah bersama DPR dan senat pasal 1 dan 2. yang sekaligus badan pemebentuk undang-undang khusus, yaitu menegenai satu, beberapa, atau semua daerah bagian atau bagianya atau yang khusus mengenai hubungan antara RIS dengan daerah daerah yang tersebut pada pasal 2 (pasal 127a). sedangkan UU biasa cukup dibuat oleh DPR. dari sudut konstitusi konfigurasi yang terjadi pada masa RIS adalah demokrasi.
Karena pembentukan RIS lebih baying baying oleh KMB berarti berbau belanda, maka RIS tersebut disikapi secara emosional oleh masyarakat Indonesia dengan sejumplah ketakutan Indonesia akan dijajah kembali, maka RIS tidak berumur lama. Pada 17 agustus 1945 RIS dikembalikan pada bentuk Negara kesatuan dibawah UUD 1950.

March 7, 2009 Posted by | Uncategorized | Leave a comment

PERANAN KOMISI YUDISIALALAM MEWUJUDKAN LEMBAGA PERADILAN YANG BERSIH

Sejarah Pembentukan Komisi Yudisial
Berawal pada tahun 1968 muncul ide pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) yang berfungsi untuk memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan akhir mengenai saran-saran dan atau usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian dan tindakan/hukuman jabatan para hakim. Namun ide tersebut tidak berhasil dimasukkan dalam undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman.Baru kemudian tahun 1998-an muncul kembali dan menjadi wacana yang semakin kuat dan solid sejak adanya desakan penyatuan atap bagi hakim, yang tentunya memerlukan pengawasan eksternal dari lembaga yang mandiri agar cita-cita untuk mewujudkan peradilan yang jujur, bersih, transparan dan profesional dapat tercapai.
Seiring dengan tuntutan reformasi peradilan, pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001 yang membahas amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disepakati beberapa perubahan dan penambahan pasal yang berkenaan dengan kekuasaan kehakiman, termasuk di dalamnya Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Berdasarkan pada amandemen ketiga itulah dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
Adapun  alasan utama bagi terwujudnya (raison d’atre) Komisi Yudisial di dalam suatu negara hukum, adalah :
(1) Komisi Yudisial dibentuk agar dapat melakukan monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spectrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring secara internal,
(2) Komisi Yudisial menjadi perantara (mediator) atau penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) dan kekuasaan kehakiman (judicial power) yang tujuan utamanya adalah untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan apapun juga khususnya kekuasaan pemerintah,
(3) Dengan adanya Komisi Yuidisial, tingkat efisiensi dan efektivitas kekuasaan kehakiman (judicial power) akan semakin tinggi dalam banyak hal, baik yang menyangkut rekruitmen dan monitoring hakim agung maupun pengelolaan keuangan kekuasaan kehakiman,
(4) Terjaganya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus (Komisi Yudisial), dan
(5) Dengan adanya Komisi Yudisial, kemandirian kekuasaan kehakiman (judicial power) dapat terus terjaga, karena politisasi terhadap perekrutan hakim agung dapat diminimalisasi dengan adanya Komisi Yudisial yang bukan merupakan lembaga politik, sehingga diasumsikan tidak mempunyai kepentingan politik.
Wewenang dan Tugas
Pasal 24 B UUD 1945 yang menyatakan bahwa : “ Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”. Pasal 24 B UUD 1945 yang dijabarkan dalam Undang Undang No. 22 Tahun 2004 Pasal 13 yang pada pokoknya adalah :
a. Mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR;
b. Mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Pasal 13 huruf a dalam pasal 14 (1) :
a. melakukan pendaftaran calon hakim agung
b. melakukan seleksi terhadap calon hakim agung
c. menetapkan calon hakim agung
d. mengajukan calon hakim agung ke DPR.
Pasal 13 huruf b dijabarkan dalam pasal 20 dan pasal 22 (1) :
a. menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim;
b. meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan
perilaku hakim;
c. melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim;
d. memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode
etik perilaku hakim; dan membuat LHP yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada MA dan/atau MK

Peran Komisi Yudisial Dalam Menciptakan Lembaga Peradilan Yang Bersih
Terungkapnya kasus-kasus penyalah-gunaan wewenang oleh hakim dan pejabat peradilan yang dipublikasikan oleh berbagai media akhir-akhir ini merupakan cerminan dari lemahnya integritas moral dan perilaku hakim, termasuk pejabat dan pegawai lembaga peradilan. Keadaan ini tidak saja terjadi di lingkungan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, tetapi juga telah memasuki dan terjadi di lingkungan Mahkamah Agung sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman yang tertinggi. Ternyata penerapan one roof system sebagai salah satu upaya menciptakan independensi pengadilan dan imparsial hakim melalui proses pemindahan kewenangan manajemen administrasi, personalia, dan keuangan dari eksekutif (Menteri Hukum dan HAM) sebagai amanat undang-undang pokok kekuasaan kehakiman belum dapat meningkatkan integritas moral dan profesionalitas hakim.
Gambaran singkat diatas merupakan realita yang berkembang hari ini, semua itu terjadi karena tidak efektifnya mekanisme pengawasan secara internal di lembaga peradilan sendiri. Adapun sebab-sebab mengapa mekanisme pengawasan internal tersebut kurang efektif bisa digambarkan sebagai berikut :
1.lemahnya integritas moral hakim dan pejabat lembaga
2.putusan lembaga peradilan yang kontroversial, dan banyaknya putusan yang bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat.
3.Belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk menyampaikan pengaduan, memantau proses serta hasilnya (ketiadaan akses),
4.Semangat membela sesama korps (esprit de corps) yang mengakibatkan penjatuhan hukuman tidak seimbang dengan perbuatan
5.Tidak terdapat kehendak yang kuat dari lembaga peradilan tertinggi sampai dengan terendah untuk menindak lanjuti hasil pengawasan.
Karena sebab-sebab itulah maka pembentukan Komisi Yudisial sebagai upaya untuk mengefektifkan mekanisme pengawasan yang kurang efektif di internal lembaga peradilan dengan menciptakan mekanisme pengawasan yang bersifat eksternal.
Sebagai lembaga tinggi negara yang lahir dari tuntutan reformasi hukum dan bertugas untuk melakukan reformasi lembaga peradilan, tentu saja Komisi Yudisial tidak mungkin membiarkan terus berlangsungnya praktek penyalah-gunaan wewenang di lembaga peradilan sebagaimana dikemukakan di atas. Oleh karena itu, Komisi Yudisial perlu melakukan langkah-langkah pembaharuan yang berorientasi kepada terciptanya lembaga peradilan yang sungguh-sungguh bersih dan berwibawa guna menjamin masyarakat dan para pencari keadilan memperoleh keadilan dan diperlakukan secara adil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam rangka menciptakan lembaga peradilan yang berwibawa itu dan sekaligus untuk memberikan landasan hukum yang kuat maka komisi yudisial secara langsung diatur dalam UUD 1945 pasal 24B sebagai lembaga Negara yang bersifat mandiri. Yaitu dengan memberikan kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk mewujudkan checks and balances didalam lembaga peradilan. Seperti tertera dalam UUD 1945 pasal 24B tersebut komisi yudisial memiliki peranan yang penting dalam rangka mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim agung serta pengawasan terhadap hakim yang transparan dan partisipatif guna menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Perlu dikemukakan juga bahwa dalam upaya mendukung fungsi pengawasan dan untuk mengatasi penyalahgunaan wewenang di lembaga peradilan, maka Komisi Yudisial berpendapat perlu dilakukan perubahan Undang Undang No. 22 Tahun 2004 atau melalui mekanisme peraturan pemerintah pengganti undand-undang. Hal ini perlu untuk mengupayan penguatan komisi yudisial sebagai lembaga Negara yang kewenanganya telah di kurangi paska putusan Mahkamah konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 yang telah membatalkan beberapa pasal penting yang menjadi inti keberadan Komisi Yudisial.
Kewenangan Komisi Yudisial untuk melaksanakan fungsi pengawasan sebagaimana dikemukakan di atas merupakan upaya untuk mengatasi berbagai bentuk penyalah-gunaan wewenang di lembaga peradilan yang dimulai dengan mengawasi perilaku hakim, agar para hakim menunjung tinggi kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Oleh karena itu, apabila fungsi pengawasan oleh Komisi Yudisial itu berjalan efektif tentu dapat mendorong terbangunnya komitmen dan integritas para hakim untuk senantiasa menjalankan wewenang dan tugasnya sebagai pelaksana utama kekuasaan kehakiman sesuai dengan kode etik, code of conduct hakim dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di sinilah sesungguhnya letak peranan penting dari Komisi Yudisial dalam upaya mendukung penegakan hukum di Indonesia.
Pengawasan oleh Komisi Yudisial ini pada prinsipnya bertujuan agar hakim agung dan hakim dalam menjalankan wewenang dan tugasnya sungguh-sungguh didasarkan dan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku, kebenaran, dan rasa keadilan masyarakat serta menjunjung tinggi kode etik profesi hakim. Apabila hakim agung dan hakim menjalankan wewenang dan tugasnya dengan baik dan benar, berarti hakim yang bersangkutan telah menjunjung tinggi kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Keadaan yang demikian itu tentu tidak hanya mendukung terciptanya kepastian hukum dan keadilan, tetapi juga mendukung terwujudnya lembaga peradilan yang bersih dan berwibawa, sehingga supremasi hukum atau penegakanpun dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Penutup
Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang mandiri lahir dari tuntutan reformasi dan untuk melakukan reformasi lembaga peradilan mempunyai fungsi untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mengawasi hakim agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945. Pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial mencakup pengawasan preventif sampai dengan pengawasan yang bersifat represif dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dengan eksistensi dan fungsi yang demikian itu, Komisi Yudisial memegang peranan penting dan strategis dalam upaya mewujudkan lembaga peradilan yang bersih dan berwibawa, sekaligus mereformasi lembaga peradilan dan mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri, tidak berpihak (netral), kompeten, transparan, menjunjungtinggi nilai-nilai keadilan dan kebenaran, serta berwibawa, yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan.
Akan tetapi tujuan tersebut telah dibatasi oleh tidak adanya aturan main yang pasti paska keputusan mahkamah Knstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, maka dari situ diperlukan upaya yang bersifat yuridis untuk menopang kewenangan komisi yudisial dimasa yang akan datang.

Daftar Pustaka
1.Situs Komisi Yidisial. http://www.komisi yudisial. Go.id
2. A. Ahsin Thohari, Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan, hlm. XIII – XIV.
3..Artidjo Alkostar, Menggagas Pola Rekruitmen Hakim Dalam Rangka Menghasilkan Pengadilan Yang Progresif”,
4. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Tahun 1996.
5. UUD 1945
6. UU No 22 tahun 2004.
7. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006.

March 7, 2009 Posted by | Uncategorized | 1 Comment

BENTURAN ANTAR ASAS OTONOMI DAERAH DALAM UU NO 32 TAHUN 2004

A. Pendahuluan
Pemerintah daerah yang selanjutnya menjadi pembeda dari pemerintah pusat adalah penyelenggara urusan pemerintahan yang dilakukan oleh perintah daerah dan DPRD menurt asas otonomi dan tugas pembantu dengan prinsip otonomi seluas-luasnya Dalam sistem dan prinsip negara kesatuan seperti yang disebutkan dalam UUD 1945, Asas otonomi dan tugas pembantu kelahiranya memiliki makna tersendiri, yaitu makna yang dilahirkan dari sejarah pembentukan karakter bernegara di Indonesia. Pemebentukan karakter tersebut bisa dilihat dari naik turunya tensi penggunaan prinsip otonomi daerah . Mahfud MD mengatakan Otonomi daerah berkembang seiring dengan konfigurasi politik yang ada di Indonesi. Beliau membagi perkembangan otonomi daerah menajadi tiga fase:
1.Fase antara tahun 1945-1959 yaitu otonomi daerah dalam bingkai demokrasiliberal.
2.Fase antara tahun 1959-1966 yaitu otonomi daerah dalam bingkai demokrasi terpimpin.
3.Fase antara tahun 1959-1998 yaitu otonomi daerah dalam bingkai ordebaru..
Bagi penulis pandangan mahfud tersebut harus ditambah sedikit lagi, yaitu dengan dimasukkanya kosfigurasi olitik otonomi daerah orde reformasi yang terjadi pada tahun 1998-sampai sekarang. Dari ke emepat periode yang terjadi periode pertama sampai ke tiga saya kira sudah tidak perlu dibahas kembali mengingat ketiga periode tersebut telah berlalu. Pembahasan kali akan lebih ditekankan pada periode terakhir yaitu orde reformasi. Pada periode ini telihat banyak sekali prinsip-prinsip otonomi daerah yang pada awalnya belum ada kemudian dimunculkan kepermukaan. Prinsip prinsip tersebut antara lain diterimanaya asas otonomi dan tugas pembantu dalam melaksakan pemerintahan daerah dalam UUD 1945 hasil amandemen. Didimasukkanya asas dekonsentrasi dalam UU yang baru menyangkut persoalan daerah.
Perubahan format otonomi tersebut tidak sepenuhnya membawa berkah bagi masyaratak daerah, akan tetapi banyak persoalan yang muncul kemudian akibat ditemanya asas tersebut. Ini terbukti sejak reformasi hingga sekarang terjadi dua kali perubahan dalam peraturan yang mengatur otonomi daerah, yaitu UU No 22 1999 diubah dengan UU No 32 tahun 2004. Dalam rangka untuk kajian masalah tersebut maka tulisan ini dimunculkan

B. Pembahasan
1. Asas Dekonsentrasi
Indonesia sebagaimana tercantum dalam pasal 1 ayat 1 UUD 1945 dinyatakan bahwa Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk republik dan sekaligus Bentuk Negara kesatuan adalah bentuk negara yang bersifat final yang diharapkan oleh rakyat Indonesia secara menyeluruh, disamping bentuk-bentuk Negara alternatif lain. Hal ini diatur secara rigit dalam pasal 37 ayat 5 UUD 19451. Hubungan yang muncul dalam Negara kesatuan adalah hubungan yang bersifat hirarkis-vertical antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota. Sehingga, otonomi daerah yang yang dilaksanakan tidak boleh keluar dari pakem tersebut.
Agar tidak keluar dari pakem maka otonomi daerah menganut asas dekonsentrasi. Asas Dekonsentrasi ini mengandung pengertian pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Jadi gubernur adalah sebagai mandatris pemerintah pusat untuk melaksanakan tugas-tugas dan fungsi-fungsi yang diberikan. Sehingga kekuasaan memberikan dan mencabut tugas dan fungsi tetap berada dipemerintah pusat. Akan tetapi kemudian asas ini menjadi tidak berfungsi karena terjadinya pembagian urusan yang diatur kemudian dalam UU No 32 tahun 2004.
Pembagian urusan tersebut bisa dilihat dari bab III pasal 10 UU No 32 tahun 2004. klausa yang ada dalam pasal 1 tersebut mengatakan bahwa Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah. Kemudia pada pasal selanjutnya Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Dari klausa “Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah”. Secara substansial klausa ini mengatakan bahwa kwenangan yang dimiliki pemerintah pusat dan pemerintah daerah sudah diatur secara jelas dan rigid. Pembagian tersebut memang terbukti demikian dengan meninjau pasal selanjutnya maka akan terlihat betapa kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah menjadi sejajar dalam mengelelola daerah. Pasal 10 ayat 4 megatur kewenangan pemerintah pusat tersebut sebagai berikut:
a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama.
Dan kewenangan pemerintah diluar 6 poin tersebut dilaksanakan dengan ,
a.menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;
b.melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah; atau
c.menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.

Sedangkan klausa yang mengatur mengenai kewenangan daerah diatur dalam pasal 13 ayat 1 dan pasal 14 ayat 1 UU No 32 tahun 2004.
Dari penjelasan diatas susunan, komposisi peraturan menurut penulis bertentangan satu sama lain denganasas dekonsentrasi. Asas dekonsentrasi menyatakan bahwa keberadaan kewenangan berada dipemerintah pusat kemudian kewengan tersebut didistribusikan keperintah daerah. Sedangkan pada klausa-klausa aturan diatas tidak demikian adanya pengaturan-pengaturan secara jelas hak dan wewenang baik pemerintah pusat maupun daerah membuktikan bahwa keberadaan asas dekonsentrasi tidak bermakna, itu yang pertama. Yang kedua, asas dekonsentrasi merupakan asas perekat bentuk negara kesatuan akan tetapi akibat pembagian kewenangan tersebut akhirnya konsep kesatuan diciderai. Karena, Pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan daerah secara ketat merupakan sebuah konsep negara ferderal, dan ini sejak semula tidak diinginkan oleh masyarakat indonesia..

2. Asas Desentralisasi
Asas desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Asas ini memiliki semangat bahwa pemerintah daerah dianggap mampu untuk melaksanakan pemerintahan sendiri, ini terbukti dari kata penyerahan. Kata ini juga membuktikan bahwa kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus dibagi karena daerah sudah dianggap mampu untuk melaksanakan pemerintahan sendiri. Secara pengertian antara dekonsentrasi dan desentralisasi seakan-akan tidak ada masalah akan tetapi apabila ditinjau lebih mendalam kepada peraturan yang mengatur persoalan tersebut, maka akan terlihat betapa benturan tersebut terjadi. Benturan tersebut berasal dari tujuan dasar keberadaan asas desentralisasi dan dekonsentrasi. Asas desentralisasi lebih bermuatan federalistik sedangkan asas dekonsentrasi lebih bermuatan keasatuan. Hal ini bisa dilihat dari pemebagian-pembagian kewenangan yang ada dalam UU otonomi daerah lebih mendekati kepa prinsip desentralisasi.
3.Asas tugas pembantu
Mengiringi kedua asas diatas terdapat satu asas lagi yaitu asas tugas pembantu. Asas ini mengandung pengertian, adanya penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Asas ini dalam UU 32 tahun 2004 ditempatkan pada pasal 10 ayat 5 poin c, dalam sebuah klausal “menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan”. Ketentuan ini dilaksanakan untuk mengatisipasi pabila terjadi hal-hal yang tidak di inginkan dalam sebuah pemerintahan, sedangkan penangananya harus segera dilaksanakan.
keberadaan ketentuan ini sangat minim dalam peratuaran, akan tetapi dibandingkan dengan asas desentralisasi, asas ini lebih dapat diterima oleh prinsip pemrintahan daerah dalam negara kesatuan. karena asas ini tetap menempatkan pemerintah pusat sebagai tolak ukur dalam sebuah kebijakan. Dan pemerintah daerah merupakan subdivisi dari pemerintah pusat untuk melaksanakan fungsi-fungsi dan kebijakan-kebijkan yang dibuat oleh pemerintah pusat.
C. Penutup
C.1 Kesimpulan
Didalam sebuah negara yang amat luas seperti di Indonesia ini tidak mungkin pemerintah pusat bisa menghendel secara keseluruhan pemerintahan. Pembagian pemerintahan secara vertikal merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditinggalkan apabila tujuan bernegara ini ingin segera tercapai. Bahwa tujuan negara untuk mensejahterakan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menciptakan rasa aman bagi seluruh rakyat indonesia dengan jalan melindungi segenap bangsa indonesia merupakan sesuatu yang mendesak, maka otonomi daerah tidak bisa dihindari. Otonomi sebagai sebuah alternatif pemerintahan merupakan sebuah cara yang diambil demi melaksanakan tujuan-tujuan tersebut. Akan tetapi bagaimanapun cara tersebut tidak bisa juga bertentangan dengan cara/ prinsip-prinsip yang lain yang telah disepakati secara bersama.
C. 2 Saran
1. Keberadaan otonomi daerah harus tetap ditempatkan dalam kerangka negara kesatuan. Prinsip-prinsip yang bertentangan dengan itu sebisa mungkin harus dihindari.
2. Peguatan terhadap keberadaan asas dekonsentrasi dan tugas pembantu dalam konsep otonomi daerah.
3.Seharusnya asas dekonsentrasi tidak hanya mengatur pelimpahan wewenang antara pemerintah dengan pemerintahan provinsi, akan tetapi asas tersebut juga diterapkan dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabu paten kota. Sehingga hirarkisitas negara keasatuan bisa berjalan
4. Seandainya ada kekhawatiran terhadap berkembangnya sistem sentralistik, maka hal itu sekarang tidak cukup beralasan. Mahkamah konstitusi bisa dijadikan rujukan untuk mengatisipasi kecenderungan tersebut.

March 7, 2009 Posted by | Uncategorized | Leave a comment